Ibuku Seorang Rentenir

SerenaClaire
Chapter #14

Bab 14 - Sesingkat Terjangan Ombak

“Bagaimana hidupmu akhir-akhir ini?”

“Menyenangkan.” Begitu jawab Sarayu untuk pertanyaan dari Arga.

Minggu, adalah waktu paling menyenangkan dalam hidupnya. Dia tidak bersekolah dan tidak pula pergi bekerja karena memang libur. Dia ikut Arga pergi ke lapangan sore-sore untuk menyaksikan futsal sesama anak desa.

“Itu sebabnya kamu selalu tersenyum,” katanya. Arga masih ngos-ngosan setelah lari-lari, saat ini dia sedang istirahat sebentar untuk minum dan mengobrol bersama Sarayu.

Sarayu senang jika Arga menyadari kebahagiaan yang ada di dalam dirinya. Sungguh, dia ingin semua orang melihat kalau dia baik-baik saja serta bahagia.

“Arga!” Seorang lelaki memanggil sembari melambaikan tangan.

Sarayu duduk bersila di pinggir lapangan dan fokus menyaksikan pertandingan futsal ala-ala itu. Sebuah bayangan menghampiri, seseorang duduk di sebelahnya tapi Sarayu mengabaikan sebab masih ingin melihat Arga yang begitu lihai, betisnya yang atletis terlihat sempurna dari kejauhan.

Batu dilempar ke depannya dan barulah dia mulai terusik. Dia pikir itu orang asing yang iseng, tapi begitu kepalanya menoleh yang muncul di tengah matanya adalah Mahendra.

“Mahen?” pekik Sarayu. “bagaimana kamu tahu aku ada di sini?”

Lelaki itu berdecak pelan kemudian menyodorkan kaleng minuman, kebiasaan Mahendra setiap kali bertemu Sarayu. Gadis itu menerimanya dengan refleks.

“Pesanku tidak kamu balas dari pagi, jadinya aku pergi ke rumahmu dan kata ibumu kamu pergi ke lapangan. Untungnya ada bocah tengil itu yang mengantarku ke sini.” Mahendra menunjuk dengan dagu kepada seorang bocah lelaki berusia tujuh tahunan yang mengendarai sepeda. “Meskipun aku merasa seperti dipalak.”

“Maaf, aku memang tidak bermain ponsel seharian ini.”

Mahendra mengalihkan pandangannya dari Sarayu ke arah Arga. “Jadi dia yang sudah membuat perempuanku ini jatuh hati? Diakah alasanmu menolakku?”

“Tentu saja tidak.” Sarayu bergegas meluruskan. “Dia orang baik yang sudah menolongku. Kami berteman baik.” Dia menatap Mahendra dengan lekat. “Aku tidak tertarik dengan laki-laki di umurku sekarang, kuperingatkan sekali lagi, ya.”

Mahendra mengangguk lamat-lamat, satu alisnya naik. Entah seberapa besar cintanya kepada Sarayu sampai ingin mengutarakan perasaan setiap saat. Mahendra sebenarnya khawatir kalau Sarayu akan menjalin hubungan dengan orang lain selain dia, bukankah ini sudah cukup membuktikan kalau perasaannya kepada Sarayu seluas samudera, seluas rasa takutnya juga.

Mereka berdua menyaksikan pertandingan tersebut sembari mengobrol tipis-tipis tentang gorengan Ibu. Mahendra tadi disuguhi sepiring sebelum pergi ke lapangan dan katanya bumbu gorengan itu sangat melimpah ruah, rasa rempahnya pekat, asinnya pas, gurihnya sangat terasa seperti memakan sesendok mecin. Ucapan Mahendra cukup berlebihan, tapi begitulah caranya memuji calon mertua.

Secara tak langsung momen itu menjadi perkenalan pertama antara Mahendra dan juga Arga. Dua lelaki terbaik dalam hidup Sarayu akhirnya bertemu dan menukar cerita tentang Sarayu yang tidak diketahui oleh masing-masing. Satu sahabat hilang, ditumbuhkan lagi seribu yang sangat baik. Arga memang satu, tapi seperti seribu, sebab perannya sangat banyak dalam kehidupan Sarayu.

***

Seringkali manusia percaya bahwa sebuah kebahagiaan akan bertahan lama, padahal Tuhan ingin mengujinya sekali lagi. Ujian datang dari hal-hal yang tak terduga. Meski kalau boleh meminta, manusia hanya ingin kebahagiaan saja di dunia ini, tanpa melaluinya dengan ujian. Itu yang diharapkan oleh Sarayu. Sebab ketika dia pikir Ibu benar-benar berubah menjadi lebih baik, rupanya hanyalah sementara.

Musim penghujan seharusnya menjadi waktu emas bagi orang-orang untuk membeli gorengan Ibu, bahkan berharap memborongnya. Namun, satu-persatu pelanggannya mulai meloncat ke teras rumah Sawitri yang ikutan berjualan gorengan. Mulut lemesnya mampu menarik banyak sekali pelanggan.

Hal ini menyebabkan Ibu uring-uringan dan berhenti mensyukuri kehidupan, sebaliknya malah mengeluh tentang hasil penjualan goreng yang menurun. Pernah satu ketika dia berencana melabrak Sawitri yang sudah meniru jualannya, tapi Sarayu menahan agar tidak terjadi pertengkaran heboh seperti dulu.

Semenjak tak ada nenek, Ibu memang lihai jika diajak berkelahi. Sepertinya ini bakat buruk yang terpendam sebab jika ada nenek, Ibu tidak akan berani macam-macam dan menjadi penurut seperti anak kucing.

Dagangan Ibu masih seenak biasanya, Sarayu rasakan sendiri. Akan tetapi, yang beli mulai bisa dihitung jari dan membuat pemasukan seret. Setiap hari yang keluar dari mulutnya adalah keluhan dan tak pernah sekali pun bersyukur.

Tebak, bagaimana ujungnya. Jelas Sarayu yang disalahkan sebab semua ini adalah idenya. Gadis itu menjadi sasaran empuk bagi Ibu untuk menyalurkan emosinya yang membuncah.

“Andai dulu tidak menuruti perkataanmu, mungkin kita bisa makan lebih enak dari ini.”

Lihat selengkapnya