Ibu dan anak itu akhirnya mengobrol di hari Minggu pagi sembari memasak sayur sop yang dibeli oleh Sarayu di Mak Ijah. Dia tidak tahu apa yang terjadi semalam karena ketiduran, sorot cahaya ponsel membuatnya mengantuk dan tertidur dengan benda itu masih ada di dalam genggaman. Yang jelas pagi ini Ibu terlihat sumringah dan berseri-seri, dia juga menyuruh Sarayu untuk membeli sayur sop saja karena yang memasak semuanya Ibu.
“Bayu sudah bisa dihubungi tengah malam,” ujar Ibu. Bercerita sendiri tanpa ada yang bertanya, mendengar itu Sarayu merasa sedikit lega. “Dia akan memberikan uang itu secepatnya dan ibu akan membuka koperasi simpan pinjam di rumah.”
Lidah Sarayu gatal, dia ingin memberitahu yang sebenarnya. “Bu, bukankah koperasi simpan pinjam itu ada hukumnya? Maksudku, Ibu tidak bisa semudah itu untuk membukanya.”
Ibu melirik sembari berdecak kesal, di tangannya masih ada pisau yang digunakan untuk mengiris wortel. “Tau apa kamu. Di desa sebelah juga ada orang yang membuka koperasi simpan pinjam seperti itu dan dia menjadi kaya. Apa kamu tidak ingin hidup serba berkecukupan?”
Siapa yang tidak mau hidup bergelimang harta, kuyakin tak seorang pun akan menolak situasi itu. Akan tetapi, tidak semua orang mau menikmati harta yang berasal dari jalan haram. Sarayu tahu kalau penamaan ‘Koperasi Simpan Pinjam’ itu hanyalah alibi saja, Ibu ingin meminjamkan uang dan memberikan bunga sehingga itu dia mencari modal dengan menggadaikan rumah ini. Miris, buruk, tapi Sarayu bahkan tidak bisa bertindak.
“Bu—”
Tak! Baru saja memanggil nama, Ibu langsung mengetuk pisau ke meja. Nyali Sarayu langsung menciut dan merinding sekujur tubuh. Tatapan Ibu terlihat mengerikan.
“Kamu itu banyak protes, anak tidak tahu apa-apa soal orang dewasa. Katanya kamu mau kuliah, sedangkan waktu belajarmu saja kurang karena bekerja untuk gaji receh itu, lantas bagaimana kamu akan mendapatkan beasiswa jika nilaimu tidak mampu bersaing?”
“Bu, kemarin nilaiku sudah membaik.”
“Iya, kemarin membaik, tapi nilai semester sebelumnya juga mempengaruhi. Lagipula masih banyak yang mendapatkan nilai delapan. Sembilan, Sarayu, sembilan, atau seharusnya memang sempurna seratus.”
Selalu ada saja yang membuat Ibu marah, selalu ada saja topik yang mengenyangkan emosionalnya. Tampaknya Sarayu tidak bisa menerapkan teknik grey rock itu, dia masih ingin melakukan revisi terhadap kesalahan yang dengan sadar Ibu lakukan.
Sarayu merasa terguncang dengan emosi Ibu yang meledak-ledak, apalagi di tangannya masih ada pisau yang amit-amitnya akan melayang kepadanya. Ditepisnya segera pikiran buruk yang berlebihan itu. Helaan berat terembus dari hidung Ibu, dia menggeletakkan pisaunya dan berlalu mengambil telepon genggam yang berdering di atas kulkas. Saat diangkat, telepon itu justru mati, sementara tertera tulisan ‘Penelepon Tidak Dikenal’ yang membuat Ibu tidak bisa menelepon balik. Di situ gerutuannya semakin konsisten memecah telinga Sarayu.
“Siapa sih?!” geramnya.
Jam digital yang terpampang di layar menunjukkan hampir pukul tujuh, Ibu teringat soal Bayu yang akan menghubunginya di jam itu. Karena tidak sabar, Ibu menghubunginya terlebih dahulu untuk menanyakan perihal uang hasil gadai rumah.
Dada Ibu tetiba berdebar, pupil matanya melebar, dan tangannya gemetaran dan panik. Kepalanya terasa berat sekali dan ingin jatuh. Ibu coba hubungi laki-laki itu lagi, tapi nomornya sama seperti kemarin, berbunyi, “Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar.”
Sarayu sudah bisa menebak kalau ada hal buruk yang terjadi. Diam-diam, dia mengambil pisau dan menyembunyikannya. Sarayu tahu kalau Ibu tidak akan segila itu untuk menyakiti, selama ini yang jahat hanya mulutnya, tak pernah sekali pun bermain fisik. Hanya saja, pikiran buruknya itu terus membisikan sesuatu.
“Bu, apa yang terjadi?”
“Diam kamu!” bentaknya, “jangan sekali-kali mengganggu orang yang sedang panik.” Ibu menjauhkan telepon genggam dari telinganya. “Bayu sialan, nomornya tidak bisa dihubungi lagi.”
Ibu membawa dirinya untuk duduk di kursi makan model jadul itu. Kakinya mulai menjahit angin sementara tangannya tetap menghubungi Bayu itu walau sudah tahu nomornya tidak lagi terdaftar setelah ganti nomor baru semalam.
Kali ini lebih parah dari semalam, selayaknya orang gila. Kalau tidak dihentikan, mungkin Ibu bukan hanya menggigit kukunya sampai habis, bisa-bisa kulit jarinya terkelupas oleh tindakan ekstrem yang tak terkontrol itu.
Sarayu pun ikutan cemas, bagaimana jika orang itu membawa pergi sertifikat rumah ini. Apa yang akan dia katakan kepada nenek dan Budhe Marni nanti saat tahu.
Perasaan cemas mendekap erat tubuh Ibu. Suara rintihan pelan terdengar, jelas sangat takut dengan risiko buruk yang harus dihadapi atas kecerobohan yang dibuatnya. Sarayu tidak bisa membantu, pikirannya juga buntu.
“Ibu mau ke psikolog?” tanya Sarayu spontan. Dia juga tidak mengerti mengapa pertanyaan itu terlontar dalam situasi yang tidak semestinya.