Ibuku Seorang Rentenir

SerenaClaire
Chapter #16

Bab 16 - Bapak Telah Kembali

Panggilan dari nomor yang disembunyikan terjadi lagi, kali ini terjadi kepada Sarayu. Penasaran, dia pun mengangkatnya, tapi ketika mencoba berinteraksi suara yang terdengar hanyalah tidak jelas seperti kresek yang dimainkan. Tak berselang lama panggilan itu diputus dari si penelepon. Sarayu mengira ini hanyalah orang iseng, jadi dia mengabaikannya dan bergegas pergi ke toko.

“Bu, Sarayu pamit berangkat kerja dulu, ya.” Meski perang dingin, dia pun ingin mencoba memperbaiki keadaan dengan mengajak mengobrol ibunya terlebih dahulu, tapi tak pernah ada respon yang mengenakkan diterima oleh Sarayu. Dia pamit pergi kerja saja diabaikan.

Ibu sendiri tidak berniat untuk melaporkan Bayu ke polisi sebab dia percaya Bayu tidak akan membohonginya. Entah apa yang dijanjikan kepada Ibu sampai lelaki itu sangat dipercaya sejauh ini meski sudah mengecewakan. Pun jika melaporkannya kepada polisi, Ibu takut nenek akan mengetahuinya dan marah besar.

Itu yang melatarbelakangi sikap diam Ibu dan rela menunggu kemunculan Bayu yang entah ke mana perginya membawa sertifikat rumah ini.

Televisi di ruangan itu menyala, tapi tak ditengok sama sekali. Ibu memijit pelipisnya yang berdenyut, terlihat tenang jika tak ada orang di rumah, tapi aslinya hanya memikirkan Bayu.

Tiba-tiba, pintu rumah ada yang membuka dari luar, Ibu panik dan spontan berdiri. Dikiranya ada maling masuk—meski tidak mungkin. Rupanya sosok Bapak yang selama ini ditunggu-tunggunya. Ibu selalu bilang bahwa Bapak telah tiada, tapi kali ini Ibu malah menghambur ke dalam pelukannya dengan percaya bahwa itu Bapak yang masih hidup, bukan sesosok arwah.

“Ke mana saja kamu selama ini,” decit Ibu sembari memukul-mukul dadanya. Dramatis seperti sinetron yang biasa ditonton.

Bapak diam, membiarkan Ibu menyakitinya, meski tetap saja tidak sepadan dengan sakit hati yang ia berikan. Barulah setelah itu mereka bersatu dalam sebuah pelukan yang disertai derai air mata Ibu. Penantiannya yang hampir satu tahun akhirnya berbuah indah, yang artinya Tuhan baik, mempertemukan mereka lagi.

“Ke mana Sarayu, Johar, dan Bella?” Bapak mengabsen ketiga anaknya.

Ibu lalu memberitahu kalau Sarayu pergi bekerja, Johar belum pulang sekolah, dan Bella pergi mengaji ke TPQ. Bapak angguk kepala, dia inisiatif duduk sendiri di sofa yang melesak karena Ibu belum mengajaknya.

“Ada apa?” tanya Bapak yang seolah mengerti apa yang terjadi kepada istrinya.

Ibu bungkam, maju-mundur dia hendak menceritakan ini kepada sang suami. Memang Bapak tidak pernah marah sedari dulu, kalaupun pernah, levelnya masih rendah. Beda dengan Ibu yang level marahnya sudah di atas rata-rata. Namun, seseorang bisa saja berubah. Bagaimana jika Ibu memberitahu lalu Bapak marah besar?

Ibu mengubah raut wajahnya menjadi senyuman. “Kamu jahat meninggalkanku dan anak-anak.”

“Ada hal buruk yang terjadi, nanti aku ceritakan ketika anak-anak sudah di rumah, ya.”

***

Di penghujung waktu operasi toko, pelanggan yang datang bisa dihitung jari, itu memberi ruang bagi Sarayu untuk meregangkan punggungnya yang kaku seperti triplek yang menjadi pembatas dinding kamar di rumahnya.

Sarayu juga sedang menunggu Arga karena mereka berjanji akan makan nasi goreng langganan.

“Rokok sebungkus,” ucap seorang pelanggan.

“Rokok a—” Suara Sarayu tercetak di tenggorokan begitu dia mengenali suara tadi bersamaan ketika dia memandang wajahnya. “Bapak!” pekik Sarayu sedikit ragu, “benar ini Bapak?”

Lelaki paruh baya itu mengangguk.

Mereka terpisahkan oleh etalase toko yang membentang dari ujung ke ujung, hanya ada satu pintu di pojokan yang membuat Sarayu harus melewatinya demi memeluk Bapak. Haji Basir menyadari situasi mengharukan itu sehingga dia menyuruh Sarayu pulang lebih awal. Tanpa pikir panjang dia langsung berterima kasih dan pulang dengan Bapak yang dirindukannya. Seketika juga Sarayu lupa soal janjinya untuk makan nasi goreng bersama Arga.

Lihat selengkapnya