Orang tidak bisa berubah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu air mata yang terkuras, emosi yang tersalurkan, waktu yang terbuang, lalu tampak sebuah hasil yang dinanti-nanti. Nasehat nenek hanyalah sebuah pil pahit yang terpaksa ditelan kemudian larut dalam tubuh, melalui proses metabolisme dan keluar melalui urine, dan lantas dilupakan. Nyatanya luka batin Ibu masih mendominasi, menjadikannya manusia paling egois di muka bumi.
Setelah proses panjang di kantor polisi, Bapak dan orang yang diketahui sebagai lintah darat itu dibebaskan atas kesepakatan damai. Polisi pun akhirnya bisa meringkus Bayu, si penipu yang mencoba melarikan diri ke kota lain. Sertifikat rumah juga dikembalikan sebab proses transaksi antara Bayu dan si rentenir termasuk ilegal. Bayu sendiri sedang melalui proses terkait penipuan yang dilakukan kepada Ibu. Dia bukan pegawai bank seperti yang diucapkan, lebih tepatnya mantan pegawai bank yang dipecat secara tidak hormat karena menggelapkan dana nasabah.
Awal mula dia melakukan penipuan karena Ibu tiba-tiba membahas soal pinjaman uang. Bayu pikir waktu itu Ibu belum mengetahui kalau dirinya sudah tidak lagi bekerja di bank, akhirnya memanfaatkan momen untuk melakukan penipuan tersebut karena dia membutuhkan uang untuk menikahi kekasihnya yang kebobolan. Pihak keluarga perempuan menuntut Bayu segera menikahi putri mereka sementara dia tidak memiliki tabungan. Bisikan iblis memengaruhi perilakunya yang membingungkan banyak manusia.
“Jangan ceroboh lagi mengenai sertifikat ini,” kata Bapak dengan nada yang lembut, tampak jiwa aslinya telah kembali dan iblis terpantau kalah. “Aku tahu tidak berhak mengatur-ngatur, tapi ini harta orang tuamu yang berharga, Risanti.”
Ibu diam saja, seperti ada sesuatu yang hendak disampaikan.
“Kamu mendengarku?”
“Aku masih ingin membuka koperasi simpan pinjam itu,” kata Ibu tanpa menatap Bapak. Sarayu yang mendengarnya langsung merasa mual, tabiatnya masih sama saja setelah melalui serangkaian peristiwa yang melelahkan jiwa.
Bapak menghela napas kasar.
“Kita butuh uang, Mas. Sarayu harus kuliah supaya kita tidak kalah dari anak-anaknya mbak Marni. Di desa sebelah ada orang yang kaya dengan membuka koperasi simpan pinjam.”
“Itu hanya kedok, Risanti,” geram Bapak, “mereka sama saja seperti rentenir, bersembunyi di balik kata koperasi, tapi bunga yang diberikan cukup tinggi. Sama saja haram. Aku tidak akan mengizinkan.”
Ibu tidak terima dengan pendapat Bapak sehingga terjadi perdebatan lagi. Suara yang saling beradu tak mau kalah itu benar-benar memekakkan telinga. Sarayu menyuruh adiknya untuk pergi bermain dengan anak-anak lain. Minggu itu kampung cukup ramai dengan aktivitas para bocah.
“Aku tidak akan kuliah dulu,” celetuk Sarayu.
Spontan pertengkaran itu berakhir, mereka berpindah melontari Sarayu dengan berbagai macam pertanyaan yang enggan untuk dijawabnya. Tatapannya mengambang, dan lama-lama tenggelam dalam bayang kekosongan, suara Bapak dan Ibu mulai terdengar tidak jelas karena pikirannya menyusuri lorong-lorong kosong yang sunyi. Pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah sebuah distraksi dari luar.
Ibu mengguncang tubuhnya, geram karena sejak tadi pertanyaannya tidak ada yang dijawab. Bapak melepaskan tangan yang mencengkeram pundak putrinya terlalu keras. Dada Ibu kembang kempis mendengar pernyataan anak tertuanya, harapannya.
***
Bukan hanya Bapak dan Ibu yang terkejut dengan keputusan Sarayu, Mahendra pun demikian. Dia sampai tersedak minuman isotoniknya. Mereka duduk di bangku yang berada di depan kelas. Mahendra menuntut penjelasan mengapa Sarayu tetiba memutuskan hal tersebut dan katanya tidak ada alasan khusus, hanya ingin menundanya tahun depan.
“Lalu bagaimana denganku?”
“Kamu pergi saja kuliah sana, cari gadis cantik di perkuliahan.”
“Tidak ada,” ujarnya dengan kuat, “hanya kamu si gadis cantik itu.”
Sarayu pun memberitahukannya kepada Arga saat sedang beres-beres untuk tutup toko, lelaki itu sampai berhenti dari aktivitasnya untuk mendengar ulang perkataan Sarayu. Dikiranya salah dengar, tapi itulah kenyataannya. Keputusan bulat ini didiskusikan dengan otaknya sendiri, tak ada orang yang ikut andil untuk memutuskannya. Lelaki itu cukup kecewa dengan keputusan Sarayu, tap tetap menunjukkan dukungannya untuk mencapai dunia lebih baik yang diimpikan.
Beberapa hari belakangan Sarayu tidak disapa sama sekali oleh Ibu. Bahkan, ikan yang digoreng untuk makan malam hanya ada empat, membuat pengecualian untuk Sarayu. Ibu seolah menganggapnya telah tiada. Satu ketika Bapak memberikan lauknya kepada Sarayu sebab merasa kasihan, tapi Ibu langsung mencak-mencak seperti orang kesetanan yang berteriak-teriak kalau Bapak tidak menghargainya sama sekali yang sudah bersusah payah memasak.
Sosok yang tidak bisa disebut sebagai seorang ibu.
Sarayu pun tidak berusaha untuk merayu Ibu. Dia sedang menerapkan grey rock. Sarayu yakin Ibu ingin didekati dan dimintai maafnya, tapi itu hanya akan membuat Ibu membusungkan dada. Dia tidak ingin menjadi anak durhaka, bukan itu tujuannya. Kalau Sarayu mengalah dan memohon-mohon kepada Ibu, sama saja dia memberi kesempatan Ibu untuk melakukan hal egois di masa mendatang. Tujuannya untuk mengakhiri ego Ibu yang semakin melangit itu.
Memangnya anak tidak boleh membuat keputusan sendiri? Apa harus semua atas persetujuan orang tua? Harus ada yang membuat sebuah perubahan, meski bermula dari yang kecil dan sulit.
Malam itu Bapak mengajak seluruh keluarganya berkumpul di tikar pandan. Bukan untuk menikmati penyet sebagai makan malam, lalu bernostalgia dan tertawa-tawa, melainkan untuk membuat pembicaraan yang dalam.
Bapak mengawali dengan sebuah ucapan maaf karena menjadi akar semua masalah ini terjadi, harga dirinya sudah dibuang jauh, Bapak meminta maaf karena tidak bisa menjadi seorang suami dan bapak yang kaya raya. Bagaimanapun juga titik masalah ini adalah karena ekonomi yang mengharuskan Bapak merantau jauh.
Ibu hanya sumbang napas, dia muak dekat-dekat dengan Sarayu.
“Sarayu, apa keputusanmu itu tidak bisa diubah?” tanya Bapak.
Sarayu menggeleng dan Ibu terlihat mendengus. “Aku tidak akan kuliah tahun ini Pak, Bu. Aku akan bekerja setahun mengumpulkan uang untuk biaya kuliahku dan membantu keluarga ini. Urusan kuliah aku bisa memikirkannya nanti, yang jelas keluarga ini tidak lagi kekurangan uang.”
“Bapak bisa mencarikanmu biaya, Sarayu.”