Seseorang datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?” Rasulullah Saw. menjawab, “Ibumu!” Dan orang itu kembali bertanya, “Kemudian siapa lagi?” Nabi Saw. menjawab, “Ibumu!” Orang tersebut bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu!” Orang itu bertanya kembali, “Lalu siapa lagi?” Rasulullah Saw. menjawab, “Ayahmu!”
Pelajaran Agama Islam di pagi hari itu mengusik Azka. Hal itu karena Bu Guru yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. berkata bahwa kita harus berbakti kepada ibu tiga kali, dan ayah hanya sekali. Kenapa ayah hanya satu? Kenapa tidak tiga juga seperti ibu?
“Memang benar ya, Bu Guru. Soalny Alis Bu Guru turun yang menandakan ia merasa bersalah. Ia tidak bisa melihat bahwa efeknya akan seperti ini. Awalnya ia hanya ingin berbagi ilmua Yuni lebih sayang Mama dari Papa.”
Azka cemberut mendengar pernyataan dari teman sekelasnya itu.
Sementara Bu Guru hanya tersenyum. “Sebenarnya ada alasan mengapa ibu yang harus dihormati lebih dulu, dan disebutkan tiga kali. Hal itu karena ibu yang sudah melahirkan dan merawat kita sedari kecil—”
“Bu Guru, Azka nggak punya ibu.”
Bu Guru tiba-tiba saja terdiam mendengar Azka meneriakkan kalimat itu. Siapa yang menyangka anak itu akan mengutarakan apa yang mengusik hatinya.
“Azka nggak tahu siapa ibu Azka. Katanya udah pergi dari Azka kecil, jadi yang ngerawat Azka ayah dan Tante Hasna. Tapi yang paling sering ngerawat Azka itu Ayah. Kalau kayak gini jadinya Azka bisa kan berbakti sama Ayah tiga kali?”
Alis Bu Guru turun yang menandakan ia merasa bersalah. Ia tidak bisa melihat bahwa efeknya akan seperti ini. Awalnya ia hanya ingin berbagi ilmu. Ia lalu mendekati Azka, dan menunduk sepantaran muridnya itu. Tangannya mengusap kepala Azka dengan lembut. “Hadis nggak bisa diubah karena sudah mutlak. Tapi Azka boleh kok berbakti sama Ayah sebanyak yang Azka mau. Nggak aka nada yang ngelarang.”
Azka kemudian tersenyum lebar. Pernyataan Bu Guru itu pun berhasil menentramkan hatinya. Ia tidak peduli dengan ibunya yang tidak pernah ia kenal itu. Hanya Ayah yang menjadi dunianya saat ini. Lalu ke manakah Ayah pergi? Azka berharap ayah bisa pulang secepatnya.
.
.
Selamat pagi, Saudara-saudara. Indonesia sedang berduka. Polisi Sektor Kebon Jeruk, Jakarta Barat kehilangan 14 anggotanya karena serangan bom. Serangan secara mendadak ini mengejutkan masyarakat sekitar karena lokasi berdekatan dengan puskesmas dan sekolah-sekolah. Akibat serangan itu, wilayah di sekitarnya langsung disterilkan. Serangan bom ini sangat disayangkan karena terjadi di bulan suci Ramadhan. Kami pihak Radio Sentosa turut berbela sungkawa atas meninggalnya 14 anggota kepolisian—
“Azka, kita berangkat ke sekolah yuk.”
Azka, anak berumur 8 tahun itu memanyunkan bibir karena Tante Hasna mematikan siaran radio yang sedang didengarnya. “Yah, kenapa dimatikan, Tante?” Ia selalu senang mendengar berita tentang polisi. Ayah sudah lama sekali ingin jadi polisi.
“Kan kamu harus sekolah.”
Azka menarik napas panjang. Ia kemudian menuruti permintaan Tante Hasna, tapi masih ada rasa penasaran di hatinya karena itu ia pun bertanya. “Tante kenapa polisi-polisi itu bisa meninggal?”
Tante Hasna tercengang. Buru-buru ia menunduk sepantaran dengan Azka. “Kamu tadi dengar ada polisi yang meninggal?”
Azka mengangguk jujur.
“Meninggal karena dibom. Dibom itu kayak apa, Tante? Yang meninggal langsung banyak gitu. Ada empat belas orang polisi.”
Dalam hati Tante Hasna merutuki dirinya. Ia tadi tidak mendengar apa yang radio itu siarkan. Ia tidak tertarik mendengarkan radio karena lebih tertarik menonton televisi. Azka juga sebenarnya lebih senang menonton televisi. Sayangnya mereka tidak memiliki televisi, dan hanya radio yang mereka miliki. Sedangkan Azka tidak masalah menjadikan radio sebagai pengganti televisi. Azka senang mendengarkan berita.
Tante Hasna pun mencoba mengalihkan perhatian Azka. “Kita berangkat sekolah sekarang ya. Bu Guru udah nunggu.”
Azka kecewa Tante Hasna tidak menggubris pertanyaannya. Biasanya Tante Hasna akan menjawab segala pertanyaan yang ia ajukan. Akhirnya ia pun jadi ngambek. “Aku nggak mau ke sekolah.”
Tante Hasna seketika panik. “Lho? Kenapa Azka nggak mau ke sekolah?”