Azka sudah semangat sekali untuk bersekolah di hari ini. Tangannya terayun-ayun tinggi. Hari ini ia ada jadwal pelajaran olahraga, dan ia sudah berencana untuk lari sekencang-kencangnya. Ia paling senang berlari kencang-kencang karena ia akan merasakan angin yang besar menerpa wajahnya. Mudah-mudahan saja nanti Pak Guru akan meminta mereka berlari mengelilingi sekolah dua kali.
Namun, Azka tidak menyadari orang-orang di sekitar sekolah sedang memperhatikannya. Orang-orang itu bukan teman-temannya, melainkan orangtua yang mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah dan juga guru-guru. Azka sedang sibuk memikirkan pelajaran olahraga nanti.
Yang menyadari tatapan-tatapan menjengkelkan itu adalah Tante Hasna. Tante Hasna sesekali menatap balik mereka yang memperhatikan duluan. Mencari tahu ada apa gerangan sampai mereka menatap seperti itu. Seingatnya dulu ia begitu disambut hangat di sekolah ini. Kenapa sekarang mereka jadi was was seperti itu? Kenapa setiap ia dan Azka selangkah lebih maju, orang-orang itu jadi selangkah lebih mundur? Ada ibu-ibu yang saling berbisik, guru-guru juga seperti itu.
Padahal pas kemarin Azka ke sekolah biasa-biasa aja. Beritanya kan udah dari kemarin. Kenapa reaksinya baru sekarang?
Tante Hasna pun semakin erat menggenggam tangan Azka. Ia memperhatikan Azka yang bernyanyi-nyanyi lagu yang tidak diketahuinya. Seketika itu pula ia merasakan ada yang luruh di hatinya. Harusnya ia tahu bahwa hal ini akan terjadi, tapi ia memang terlalu menganggap enteng perkara Bang Iwan. Ia tidak menyangka jadinya akan seperti ini. Ia menyayangkan Azka yang masih kecil terkena dampaknya.
“Azka!”
Azka hendak menyapa balik temannya itu, tapi ia terdiam ketika melihat temannya itu langsung ditarik menjauh oleh ibunya. Ia dapat mendengar temannya itu menangis karena kaget tiba-tiba saja ditarik dengan kencang. Kebingungan akan hal itu, Azka pun menoleh ke Tante Hasna. “Tante, kenapa Mimi ditarik kayak gitu sama ibunya? Mimi salah apa? Apa Mimi nggak boleh nyapa aku?”
Hati Tante Hasna seketika digerogoti oleh kepedihan karena pertanyaan Azka itu. Ia menarik napas panjang dan menunduk sepantaran Azka. “Mimi nggak salah apa-apa. Ibunya aja yang mungkin lagi marah, tapi nggak tahu marahnya karena apa. Nggak perlu dipikirin ya.”
Azka mencoba memahami jawaban Tante Hasna sampai ia punya jawabannya sendiri. “Oh, ibunya Mimi marah kayak Tante yang tiba-tiba suka ngomel sama aku?”
Tanta Hasna sempat ingin tertawa, tapi kepedihannya lebih besar dibandingkan kegemasannya terhadap kepolosan Azka. Ia biasanya sering tiba-tiba marah sama Azka ketika sedang datang bulan atau jika sedang ada masalah lainnya. Mereka sering kekurangan uang, dan ia melampiaskan amarahnya pada Azka ketika tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka. Kalau mengingatnya, ia selalu jadi merasa bersalah. Tidak mungkin juga ia menjelaskan hal itu pada Azka. Jadi, ia jawab seadanya aja. “Ya, kamu boleh mikir kayak gitu—”
“Bu Hasna?”
Tante Hasna berjengit melihat beberapa guru yang sudah berada di dekatnya, padahal tadi tidak ada siapa-siapa. Padahal tadi mereka semua menjauh.
“Ya, Pak, Bu. Ada urusan apa ya?”
“Boleh saya bicara dengan Anda berdua?”
Tante Hasna terdiam sembari melihat guru-guru itu satu per satu. Ia heran kenapa Bu Raga yang hanya ingin bicara berdua dengannya sampai harus ditemani untuk menghampirinya saja. Tiba-tiba saja ia merasakan firasat buruk. Sebagai wali-nya Azka, ia tentu tidak bisa menolak hal tersebut, tapi ia punya satu hal yang harus dilakukan terlebih dahulu. “Saya mau anter Azka ke kelasnya dulu ya.”
Tanpa menunggu jawaban guru-guru itu, Tante Hasna mengantar Azka ke kelasnya.