“Dikeluarkan, Bu?” Tante Hasna ibarat mendengar petir di pagi bolong. “Kenapa Azka dikeluarkan? Dia nggak ngelakuin kesalahan apa-apa! Dia juga bukan anak yang nakal!” Sebagai bibi Azka, ia harus mempertahankan Azka di sini. Ia hanya mau pindah sekolah jika Azka memang membuat kesalahan fatal. Namun kesalahan fatal apa yang anak umur delapan tahun lakukan?
“Bu, ini demi keamanan sekolah,” Bu Raga menjelaskan dengan perasaan yang tidak keruan. “Saya juga sebenarnya nggak mau kayak gini.”
Napas Tante Hasna memburu. “Ibu pikir Azka berbahaya?” Ia tidak menyangka orang-orang di sekolah itu mengira demikian.
“Bu Hasna lupa? Dulu pernah heboh teroris yang ngebawa anaknya buat ngebom—”
Tangan Tante Hasna langsung mendarat di pipi Bu Raga. “Tega banget Ibu ngomong kayak gitu ke Azka! Dia masih kecil dan nggak tahu apa-apa! Dia aja bingung bom itu apa!”
Bu Raga hanya membelalak melihat Tante Hasna yang marah dengan air mata yang berjatuhan di pipinya. Ia memegang pipinya yang nyut-nyutan sehabis ditampar.
“Saya bawa Azka pulang sekarang juga!” Tante Hasna pun keluar dari ruangan itu untuk menjemput Azka di kelasnya. Ia memang orang miskin, tapi ia tidak mentolerir orang yang menganggapnya tidak punya hati. Ia memang orang susah, tapi tidak pernah menyusahkan orang. Semuanya diusahakan seorang diri. Ia akan membuktikan bahwa orang miskin seperti dirinya juga layak untuk dihormati.
.
.
Tante Hasna melangkah cepat ke dalam kelas Azka yang sudah mulai belajar. Ia main masuk, tidak memedulikan seorang guru yang sedang mengajar.
“Bu, Hasna?” ujar guru tersebut.
Namun, Tante Hasna tetap menghapiri Azka. “Azka, ayo kita pulang.”
“Lho? Kok Tante masih di sini? Kenapa aku harus pulang?”
Tanpa menggubris pertanyaan Azka, Tante Hasna membereskan buku dan peralatan tulis milik Azka. Buru-buru ia memasukkannya ke dalam tas.
“Tante, Azka mau sekolah!” Azka mulai risih dengan tindak-tanduk Tante Hasna.
“Nanti kamu sekolah, tapi bukan di sekolah ini. Ayo, pulang!” Tante Hasna menarik paksa tangan Azka, dan membuat anak itu nyaris terjatuh karena diminta berjalan lebih cepat.
“Tante! Azka mau sekolah di sini! Temen-temen Azka ada di sini!” Azka pun menangis. Ia tidak mengerti kenapa harus pulang sekarang. Ia juga tidak mengerti kenapa Tante Hasna memintanya belajar di sekolah lain. Padahal ia sudah ada di sini sejak tiga tahun lalu. Kenapa juga Tante Hasna marah-marah? Ia pun menengok ke teman-teman yang memanggil-manggil namanya.