Elderstream, 1278
Deru angin berhembus, kuning dedaunan berlayar bersama angin itu menuju desa kecil di bawah lereng gunung. Anak-anak bermain air dengan riang menemani ibu mereka yang sedang mencuci di tepian sungai panjang Elderstream. Sedang para ayah sedang menunduk dan menanam padi demi menghadapi musim kemarau panjang yang menanti.
Namun, tidak bergabung dalam keseharian biasa yang membahagiakan itu, seorang ibu sedang merawat anaknya yang terbaring lemah di tempat tidur. Dalam gubuk reog yang seakan bisa tumbang oleh hembusan angin, sang ibu menahan pedih matanya melihat putra satu-satunya, pucat dan mengerang kesakitan dicengkram oleh penyakit yang jahat.
Tiba-tiba seorang wanita pun masuk ke kamar sang Ibu dan berkata, “Yulia! Yulia! Kamu sudah dengar?”
Menghapus air matanya, ibu yang bernama Yulia itu menoleh dan menjawab, “Dengar tentang apa, Shi?”
“Ituloh! Katanya seorang dukun lagi ada di desa ini. Baru saja dukun itu mengunjungi Nenek Asa dan menyembuhkan lututnya yang sakit,” kata Shi yang heboh memperagakan cara dukun itu menyembuhkan, “Aku liat, dia kayak, menaruh tangannya di lutut Nek Asa, komat-kami sebentar, lalu puff! Ada cahaya putih yang muncul trus Bu Asa jalan lagi!” lanjutnya.
“Kamu ngada-ngada ya. Jaman sekarang mana ada sihir begitu.”
“Aku liat dengan mata kepalaku sendiri Yul bahlul. Sihir sungguhan, tulen, asli, real estate!”
Yulia meremas tangannya. Melihat kesungguhan sahabatnya itu, wanita itu menjadi ragu. Sebab baru dua tahun yang lalu ia kehilangan suaminya karena dukun palsu yang menuntut harga mahal tapi tak mampu menyembuhkan suaminya. Tetapi rintihan anaknya membuat hati Yulia gundah. Haruskah ia mempercayakan hidup orang yang ia sayangi ke tangan dukun lagi?
Shi mengambil tangan Yulia dan membujuk, “Ayo, Yul! Setidaknya, biarkan dukun itu melihat Jun dulu. Aku ajak dia kemari, ya, ya, ya?”
Setelah berpikir sejenak, Yulia sadar ia tak memiliki pilihan lain. Wanita itu pun mengangguk mengiyakan dan mengirim Shi pergi. Tiap menit berlalu, hati Yulia terasa kian sesak dan cemas. Harapan bahwa anak satu-satunya akan sehat kembali melegakan sedikit beban di hatinya, tetapi harus dengan apa dia membayar dukun itu?
Mereka tak memiliki apa-apa lagi sejak kematian suaminya. Hanyalah sepetak sawah kecil yang tak seberapa ia miliki.
“Oshhh, permisi,” tiba-tiba terdengar suara asing di depan pintu rumah. Yulia segera berdiri dan menyambut tamunya dan Shi, tetapi segera terbelalaklah matanya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia melihat seorang perempuan dengan rambut berwarna perak.
“Namaku Bulan, Penyihir pengelana. Katanya disini ada anak yang lagi demam tinggi ya?” kata perempuan berambut perak itu dengan ramah, “Bolehkah aku memeriksanya sebentar?” lanjutnya.
Yulia mengangguk tanpa sadar. Ketika menatap merah mata dukun itu, ia seolah tersihir. Cantik sekali, seolah-olah bukan manusia yang berada di depannya, melainkan malaikat.
Bulan, nama dukun itu pun mempersilahkan diri masuk. Dalam kamar sempit berdinding ayaman bambu, dukun itu menghampiri Jun yang terbaring lemah di kasurnya. Tangan perempuan berambut perak itu menyentuh dingin dan basah dahi anak itu lantas bertanya,
“Boleh aku dengar apa yang terjadi pada anak ini, Nak?”
Nak…? Bulan tampak baru meninjak tujuhbelas tahun, tetapi mengapa dia memanggil Yulia dengan sebutan Nak?