"APA itu cinta?” Pertanyaan itu tiba-tiba menyeruak di kepalaku, menggiringku ke dalam perenungan panjang. Dalam sekejap, sebuah jawaban terlintas: cinta adalah saat aku bertemu dengannya. Namun, ternyata bukan. Pertemuan itu hanya momen biasa, mungkin sekadar serpihan takdir yang menghubungkan dua orang di persimpangan hidup.
Aku kembali berpikir. Mungkin cinta adalah kebahagiaan. Namun, lagi-lagi aku harus mengakui bahwa itu bukan jawaban yang tepat. Bahagia hanya buah yang dipetik oleh hati yang mencinta, bukan cinta itu sendiri.
Jadi, apa sebenarnya cinta itu?
Setelah menggali lebih dalam, aku menemukan satu jawaban yang terasa paling benar: cinta adalah segalanya. Ia meliputi segala yang kita lakukan untuk orang yang kita sayangi. Ketika kamu rela berkorban demi mereka, pengorbanan itu adalah bentuk cinta. Saat ia dan kamu saling bertukar senyuman, itulah cinta yang berbicara. Ketika ada kepercayaan yang terjalin, janji-janji yang diucapkan untuk saling melengkapi kekurangan, di situlah cinta menemukan wujudnya.
Kesimpulannya, cinta adalah segalanya. Begitu pula pertemuanku dengannya. Meski sederhana, aku yakin, itu semua karena cinta.
-II-
AKU masih di sini, berdiri di antara pilar-pilar megah kampus yang perlahan diselimuti gelap. Awan hitam menggantung berat di langit, dihiasi kilatan halilintar yang menyambar sesekali. “Hujan akan segera turun,” gumamku.
Jam kuliah sudah usai sejak beberapa menit lalu, tetapi cuaca memaksaku bertahan. Aku menatap jauh ke langit, mencoba menghitung waktu sebelum hujan benar-benar turun. Dan seperti yang sudah kuduga, tak lama kemudian hujan deras mengguyur tanpa ampun. Dingin segera merayap. Aku menyedekapkan tangan, memeluk tubuh sendiri, seolah itu cukup untuk menangkal dinginnya sore ini.
“Woy!” Sebuah seruan tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku terlonjak sedikit dan menoleh. Septian berdiri di sana, mengenakan jaket abu-abu yang sudah agak basah terkena cipratan hujan.
Septian adalah sahabat dekatku. Ia berasal dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tetapi memilih menempuh pendidikan di Mataram, Lombok, demi mengejar cita-citanya jadi peretas. Kami sering bercanda menyebutnya “hacker kampus,” walau kemampuannya masih sebatas utak-atik jaringan dasar.
“Ngagetin aja kamu,” ucapku, melepas sedekapan tangan.
“Ngelamun aja. Di kelas juga gitu. Ada masalah apaan, sih?” tanyanya, langsung menyelidik seperti biasa.
“Enggak ada. Cuma pengin melamun aja,” jawabku dengan tawa kecil, berusaha mengalihkan suasana.
“Aneh banget kamu. Eh, lihat tuh!” ujarnya sambil menunjuk ke seberang. “Primadona kampus kita, si Anggun!”
Aku mengikuti arah telunjuknya, meski tanpa minat. Di bawah bangunan seberang, seorang gadis tengah berdiri. Anggun, seperti biasa, tampil sempurna—rambut hitam tergerai rapi, paras cantiknya terlihat memukau bahkan dalam balutan kesederhanaan. Ia berteduh sambil memegang payung kecil yang belum sempat digunakan.
“Memangnya kenapa? Ada apa sama si primadona kampus itu?” tanyaku datar, kembali mengalihkan pandangan ke hujan.
“Kamu enggak tertarik sama dia?” Septian memandangku dengan alis terangkat. “Sudah cantik, kaya, pinter, primadona kampus pula. Sempurna, kan?”