Idealism of Love

Marion D'rossi
Chapter #2

Anggun. The Way We Meet (2)

Setelah jam kerja selesai, aku meregangkan tubuh yang terasa pegal akibat melayani pelanggan sepanjang malam. Mata pun mulai berat, tanda kantuk perlahan menyerang. Untungnya, esok adalah hari Minggu—hari libur kuliah. Aku bisa sedikit bersantai sebelum kembali menghadapi kesibukan kampus yang tiada habisnya.

Biasanya, setelah bekerja, aku langsung pulang beristirahat. Tapi malam itu, ada sesuatu yang membuatku tetap berada di kafe. Aku melangkah menuju meja 33. Kuempaskan tubuh ke kursi, memandang jalanan yang semakin sunyi. Udara malam yang dingin membuatku menarik napas panjang, menikmati sejenak ketenangan ini.

Namun, di depan gerbang kafe, sesosok wanita berdiri sendirian, tampak cemas sambil menoleh ke kiri dan kanan. Gerak-geriknya menarik perhatianku. Aku memutuskan menghampirinya.

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyaku pelan, mencoba tidak mengejutkannya.

Wanita itu menoleh, dan seketika aku terdiam. Ternyata, dia adalah Anggun—si primadona kampus. Lagi-lagi, takdir mempertemukan kami secara tidak terduga.

“Eh, enggak kok. Saya cuma nunggu teman. Tadi dia bilang mau isi bensin, tapi sampai sekarang belum balik juga,” jawabnya sambil terus melirik ke arah jalan yang lengang.

“Oh, begitu. Duduk aja, Mbak. Kalau berdiri terus, nanti capek. Mungkin teman Mbak sebentar lagi datang,” ucapku, mencoba menawarkan sedikit kenyamanan.

Anggun tersenyum tipis. “Iya, boleh. Terima kasih, Mas.” Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju meja terdekat, lalu duduk. Meski tubuhnya sudah beristirahat, kegelisahan masih terpancar jelas dari wajahnya. Tatapannya tak pernah lepas dari jalanan, seolah berharap sosok yang dinantikannya segera muncul.

Aku kembali ke meja 33, tempatku duduk tadi. Namun, ketika melewati Anggun, suara lembutnya menghentikan langkahku.

“Mas!”

Aku menoleh. “Iya, Mbak?”

“Duduk di sini aja, Mas,” katanya sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Permintaannya sederhana, tapi entah kenapa membuatku ragu sejenak. Aku ingin menolak—mengingat siapa dia dan siapa aku. Tapi, lidahku seolah kelu. Kata-kata penolakan yang ingin kuucapkan tak mampu keluar dari mulutku.

Akhirnya, dengan sedikit canggung, aku mengangguk dan melangkah menuju kursi itu. Duduk di samping Anggun, mendengar suara detak jam yang samar dari kejauhan, dan merasakan malam yang mendadak terasa berbeda.

“Boleh, deh.” Akhirnya aku menjawab, walau suaraku terdengar agak ragu. Perlahan, aku duduk di kursi dekat Anggun. Dia tersenyum tipis, lalu menatapku sejenak sebelum akhirnya berbicara.

“Mas, aku yakin banget kalau Mas ini mahasiswa STMIK juga. Kalau enggak salah, tadi sore aku melihat Mas pas hujan,” katanya tiba-tiba, memecah keheningan.

Aku mencoba tetap tenang. “Kenapa Mbak yakin sekali kalau saya mahasiswa kampus Mbak?” tanyaku, mencoba berkelit.

“Ya … soalnya saya—”

Namun, sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, jam di tanganku berbunyi. Itu tanda sudah menunjukkan pukul 12 malam.

“Maaf sebelumnya, Mbak. Saya harus pulang. Sudah larut malam,” kataku sambil bangkit berdiri dan berjalan ke arah gerbang depan.

Baru beberapa langkah, tiba-tiba Anggun memanggil lagi. “Mas! Tunggu!”

Aku berbalik, dan dia berjalan mendekat. Ada raut canggung di wajahnya. “Bo-boleh saya nebeng enggak, Mas?” tanyanya, tersipu malu. Sesekali matanya mencuri pandang ke arahku, sementara tangannya meremas ujung gaun birunya.

Lihat selengkapnya