Keesokan harinya, hari Minggu, yang seharusnya menjadi waktu beristirahat, justru aku habiskan untuk bekerja. Bukan di kafe seperti biasa, melainkan di pekerjaan sampingan yang sering aku kerjakan di luar waktu kuliah. Pekerjaan sampingan ini bermacam-macam, tergantung pada kesempatan yang ada. Kadang aku membantu tetangga memperbaiki rumah, mendapatkan imbalan kecil. Kadang juga bekerja sebagai pembantu di bidang kontraktor bangunan. Lumayan, sehari bisa dapat dua ratus ribu ditambah uang makan. Semua itu aku lakukan demi kuliah, agar suatu saat nanti aku bisa menjadi pria mapan, yang tidak bergantung pada siapa pun.
Hari ini, aku bekerja sebagai pembantu di sebuah proyek konstruksi. Pekerjaannya cukup menguras tenaga, seperti mengangkat batu-bata, meladeni pekerja lain, mengambil pasir, dan hal-hal berat lainnya. Mau bagaimana lagi? Begitulah hidup, meskipun berpanas-panasan atau kehujanan, kita harus ikhlas menjalani semua itu. Hidup ini tentang kerja keras, tak peduli apa yang harus kita hadapi—panasnya terik matahari atau dinginnya hujan, kita harus terus berjuang.
"Ambilkan batu-batanya, Dik!" perintah salah satu pekerja yang sedang sibuk di depan bangunan.
Dengan sigap, aku melangkah menuju tumpukan batu-bata yang ada di luar, siap mengangkat beberapa potong untuk dibawa ke dalam. Namun, di tengah kesibukanku, tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namaku.
"Yan! Yan!" Suaranya terdengar jelas di tengah hiruk-pikuk pekerjaan.
Aku menoleh, berusaha mencari siapa yang memanggil. Dan saat aku menemukan pemilik suara itu, aku terkejut. “A-Anggun?”
Anggun, si primadona kampus, berdiri di sana dengan senyum yang sedikit terkejut. "Loh! Kemarin jadi pelayan di kafe. Sekarang, kok ...?"
"Hidup memang harus diperjuangkan," jawabku cepat, sambil membawa beberapa batu-bata di tanganku. Aku mencoba tetap tenang meskipun di dalam hati sedikit tercengang melihatnya di sini.
Anggun terdiam sejenak, matanya menatapku lekat-lekat, mungkin sedang mencoba mencerna keadaan yang tak biasa ini.
"Aku mau lanjut kerja dulu, ya?" kataku akhirnya, merasa sedikit canggung dengan tatapan yang terus mengarah padaku. Tanpa menunggu jawabannya, aku segera melangkah kembali ke dalam bangunan dan melanjutkan pekerjaanku, berusaha mengabaikan suara hati yang entah mengapa mulai berdebar lebih cepat.
Sudah beberapa jam berlalu, dan panas matahari semakin menyengat kulit. Keringat mulai bercucuran di tubuhku. Sial, panas banget! Dengan mata yang mulai terasa lelah, kulirik jam di pergelangan tanganku—sudah pukul 12.30 siang. Itu tandanya, waktunya istirahat dan makan siang.
"Ayo, istirahat dulu!" seru salah seorang pekerja, memecah keheningan panas yang mencekam.
"Iya, Pak," jawabku sambil mengangguk, lalu segera keluar dari bangunan.
Rencanaku sebenarnya ingin makan di warung dekat sini. Namun, baru saja aku melangkah keluar, tiba-tiba terdengar suara yang sangat familiar, "Yan!"
Aku segera menoleh, dan tentu saja, pemilik suara itu adalah Anggun. “Kamu?! Ada apa? Kamu sengaja—”
"Bukan! Bukan maksud aku seperti itu. Tadi aku sempat pulang, kok," Anggun segera memotong, berusaha membantah dugaanku.
“Terus? Mau ngapain lagi?” tanyaku, masih agak bingung dan heran dengan kehadirannya yang tiba-tiba ini.