JIKA pertemuan dengan Anggun adalah takdir, maka kedekatan kami juga pasti bagian dari takdir itu sendiri—dan bagian dari cinta. Meskipun aku tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa aku bisa menjadi begitu dekat dengannya, ini adalah kenyataan yang terjadi. Di lubuk hatiku yang paling dalam, aku selalu mengharapkan ada sesuatu yang baru dalam hidupku, seperti misalnya, bisa dekat dengan seorang perempuan. Paling tidak, dia bisa menjadi pendengar setia untuk segala keluh kesahku dalam menjalani kehidupan yang kadang terasa rumit ini.
Namun, karena aku selalu membatasi banyak hal—keuangan, pergaulan, bahkan waktu—aku tak pernah benar-benar dapat mewujudkan keinginan itu. Biarlah, aku tidak bisa mewujudkannya. Yang penting, mungkin takdir dan cinta bisa bertindak untukku, memberiku kesempatan yang selama ini kuharapkan.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Hari Sabtu datang lagi, dan hujan pun mulai turun, seperti halnya minggu lalu. Mungkin hanya kebetulan, tetapi dalam beberapa hari terakhir, hujan tak pernah turun, kecuali pada hari Sabtu. Aku selalu merasa bahwa Sabtu adalah hari yang penuh berkah, dan entah kenapa, hari Sabtu seperti hari yang sangat rentan dengan turunnya hujan.
Kuselipkan kedua tangan ke dalam saku jaket, melakukan hal sama seperti Sabtu kemarin. Bedanya, kali ini Septian tidak masuk karena sakit, jadi aku sendirian. Duduk di sana, menatap hujan yang turun perlahan. Aku melirik ke arah bangunan kampus di seberang, berharap bisa menemukan sosok Anggun—dengan hidung mungil dan mancungnya itu. Namun, kali ini sosoknya tak ada. Mungkin dia sudah pulang lebih awal, pikirku, sambil menolehkan pandanganku kembali ke hujan yang semakin deras.
Dingin. Semakin erat kupeluk diri, berusaha menghangatkan tubuh, meski angin dan hujan menyelimuti suasana di sekitar. Aku kembali tenggelam dalam pikiranku, berharap sesuatu akan berubah—mungkin takdir atau cinta yang akan membawa Anggun kembali ke kehidupanku.
“Hai!” Tiba-tiba, suara itu menyapaku. Aku menoleh, mencari sumber suara. Hidungnya mancung, tapi kecil, wajahnya begitu familiar. Anggun, primadona kampus, pikirku.
“Hai,” jawabku pelan, tetap dengan kedua tangan di dalam saku jaket.
“Hmmm, hari Sabtu itu sepertinya hari keramat, ya? Setiap Sabtu, pasti hujan. Dan setiap Sabtu, kamu pasti ada di sini,” katanya sambil melangkah maju, kini tepat berdiri di sampingku.
“Keramat? Bukannya berkah? Hujan itu rejeki, kan? Kata orang-orang begitu,” balasku dengan ringan.
“Iya, sih. Kalau dunia enggak pernah hujan, bisa-bisa gersang. Tapi, kalau hujan terus-menerus, juga enggak baik. Banjir, kan?” Anggun melanjutkan, menatapku.
“Menurut aku, itu seperti hidup. Setiap hal pasti punya sisi positif dan negatif. Misalnya, baterai. Kalau keduanya positif atau negatif, masih bisa berfungsi enggak?” Aku mencoba menjelaskan, memberi pendapat, sekalian meluruskan pandangannya tentang baik dan buruk yang ada dalam setiap hal.
“Anak TI memang hebat!” Anggun tersenyum lebar, sambil bertepuk tangan kecil, memuji.
“Apaan, sih?! Enggak juga,” jawabku, sedikit tersipu.
Pembicaraan itu berakhir begitu saja, meninggalkan keheningan yang menenangkan di antara derasnya hujan. Entah sudah berapa lama kami berbicara, waktu terasa mengalir begitu cepat. Hujan pun mulai mereda, hanya menyisakan embun yang terembus angin.
“Hujannya sudah reda. Aku duluan, ya,” ucapku, sedikit mendekat untuk berpamitan.
“Belum sepenuhnya reda. Hujan kayak gini malah bikin badan drop.” Anggun mengingatkan, dengan nada penuh perhatian.
“Enggak apa-apa. Badanku enggak selemah itu,” jawabku, tersenyum tipis. “Sampai ketemu lagi, ya!”
Dengan cepat, aku melangkah pergi, mempercepat langkah menuju parkiran kampus. Walaupun udara dingin sore itu menggigit, aku harus segera sampai rumah, beristirahat sejenak. Seperti biasa, hari masih panjang. Aku harus kembali bekerja.
-II-
Ternyata hujan tak juga berhenti. Bahkan semakin deras mengguyur bumi. Aku menyandarkan punggungku pada dinding kamar, merasakan ketenangan yang datang dengan sedikit kecemasan. Napasku terasa berat. Sekali lagi, aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah pukul 6.15 sore. Kalau begini, rasanya aku tak akan sempat bekerja malam ini, pikirku.
Dengan sedikit rasa frustrasi, aku merebahkan diri di atas tempat tidur, menyelimuti tubuhku dengan sarung hijau kotak-kotak. Tiba-tiba, sarung itu mengingatkanku pada almarhum ayah. Aku mencium ujung sarung itu, seakan ingin merasakan keberadaannya lagi, dan sekejap masa lalu pun datang kembali. Kenangan-kenangan bersamanya, gelak tawa, dan nasihat yang tak akan pernah terlupakan.
Kedua mataku terpejam, perlahan. Tanpa sadar, aku tenggelam dalam kegelapan malam, meninggalkan segala kekhawatiran sejenak.
Aku terbangun, mengusap kedua mataku yang masih terasa berat. Kutolehkan pandangan ke arah jam tangan di pergelangan tanganku. Sial! Sudah pukul 09.30 malam! Aku menepuk kening, merasa cemas. Aku segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sekejap, baju sudah kuganti, dan aku kembali melirik jam—sekarang sudah jam 9.45. Tanpa membuang waktu lagi, aku bergegas keluar dari rumah. Kutarik tuas sepeda motor antik merah mencolok itu dan segera menancap gas.
Namun, saat sedang melaju di jalan, tiba-tiba si antik mogok. Bukan hal aneh, memang. Motor tua ini sering kali mogok, terutama saat musim hujan datang. Padahal, sebulan yang lalu sudah kuganti oli dan service lengkap.
Kulakukan starter sekali lagi, tapi tak ada tanda-tanda kehidupan dari mesin motor itu. Mengeluh, aku memeriksa beberapa bagian mesin. "Apa sih maumu, Antik?! Jangan sekarang, kek, mogoknya!" ujarku sambil frustrasi. Saat itulah sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Sebuah mobil Swift, atau apalah itu, dan seorang wanita bertubuh seksi keluar dari dalamnya.
Anggun. Dia berjalan mendekat, senyumannya yang memikat semakin terasa di udara malam yang dingin. Bibirnya tampak begitu menawan dengan lipstik merah yang menyala.
"Heii! Kamu sedang apa, Yan?" tanyanya sambil mendekat, suaranya begitu akrab di telingaku.
Aku menjawab dengan gugup, "Aku? I-ini motorku tiba-tiba mogok aja."
"Mogok? Loh, kok gitu?! Memang sering mogok?" Anggun bertanya dengan rasa ingin tahu.
"Yah ... memang, motor tua, sih. Kadang ya gitu," jawabku, sedikit malu.
"Memang kamu mau ke mana? Aku habis dari kafe, loh. Aku cari-cari, tapi kamu enggak ada."
"Tadi aku ketiduran. Makanya sekarang buru-buru banget. Nih, motor malah mogok lagi," jawabku, kesal sambil menepuk-nepuk jok motor tua itu.
Anggun tersenyum dengan misterius. "Aku punya ide!" serunya, wajahnya cerah.
"Ide? Apa?" tanyaku penasaran.
"Gimana kalau kamu naik mobil aku aja? Aku antar ke kafe kok," tawar Anggun, wajahnya tiba-tiba memancarkan kebaikan yang begitu menenangkan.
“Naik mobil kamu?!” Aku terkejut, salah tingkah. Kualihkan pandangan, berusaha menutupi gejolak aneh yang tiba-tiba saja menghantam batinku.
“Iya. Mau?” tanyanya lagi, memastikan.