Percikan sinar matahari yang masuk lewat celah jendela membangunkanku dari tidur. Aku duduk terbungkuk di atas matras tipis, yang setiap malamnya menjadi alas tidurku. Beberapa sarung terlipat rapi di atasnya, memberikan sedikit kenyamanan. Aku terdiam sejenak, menatap jendela yang masih tertutup rapat. Perlahan, pandanganku beralih ke jam dinding yang menggantung di atas kamar. Sudah pukul 9.00 pagi. Tidak ada rencana hari ini. Hari Minggu seharusnya penuh dengan pekerjaan sampingan, tetapi kali ini aku tidak mendapat kesempatan itu. Kepalaku juga sedikit pusing. Aku sadar, flu yang aku alami akibat kedinginan malam kemarin semakin terasa. Meskipun begitu, aku tak bisa hanya berdiam diri. Batas waktu pembayaran uang SPP semakin dekat, dan itu memaksaku untuk tetap bekerja keras, meski tubuh terasa lelah dan sakit.
Aku bangkit dan segera menuju kamar mandi, berusaha menyegarkan diri. Setelah itu, aku siap berangkat. Si antik, sepeda motorku yang setia, menunggu di luar. Tujuanku kali ini adalah Kedai Remaja Lombok, tempat temanku, Septian, bekerja. Kedai ini selalu ramai setiap Minggu, terutama di siang hari, karena banyak anak muda yang datang nongkrong dan menikmati berbagai makanan. Tentu saja, kedai ini memerlukan banyak pekerja tambahan pada hari-hari sibuk seperti ini. Aku sudah sering menjadi pegawai cadangan di sini ketika tidak ada pekerjaan lain.
Beberapa menit kemudian, aku tiba di kedai. Di dalam, suasana sangat ramai. Meja-meja hampir semua terisi penuh. Tiba-tiba, aku melihat Septian, yang sedang sibuk mengantarkan pesanan ke meja pelanggan. Begitu dia melihatku, dia segera mendekat.
“Rian?!” panggilnya, suaranya penuh kejutan.
Aku tersenyum, melambaikan tangan. “Sep!” seruku, sambil berjalan mendekat.
“Eh, sini aja, Yan! Lagi banyak pelanggan nih!” Septian mempersilakan aku untuk masuk ke dalam kedai.
“Oke!” jawabku singkat, menyetujui ajakannya.
Kami berjalan menyusuri ruang kedai yang ramai. Tiba di sudut, aku duduk di kursi kosong yang disediakan. Septian menatapku sejenak dengan raut penasaran. “Kamu kenapa, Yan? Tumben banget ke sini lagi?” tanyanya sambil menyeka keringat di dahinya.
“Gini, Sep. Aku lagi enggak ada kerjaan hari ini, jadi—” jawabku, tapi belum selesai bicara, Septian langsung memotong.
“Stop! Aku tahu maksud kamu,” kata Septian sambil mengangguk. “Oke, coba aku tanyakan dulu ke manajer, ya?” lanjutnya, dan segera melangkah menuju bagian dalam kedai untuk mencari manajer.
Aku hanya mengangguk dan duduk menunggu, menyadari betapa ramai kedai ini, dan betapa banyak orang yang bekerja keras di sini.
Beberapa saat kemudian, Septian tampak berjalan gontai mendekatiku. Raut wajahnya mengisyaratkan sesuatu yang kurang baik. Aku mulai menebak-nebak, sepertinya dia gagal meminta izin kepada manajer.
“Gimana, Sep?” tanyaku begitu dia sampai di hadapanku.
“Yan, maaf banget ...,” jawabnya dengan suara lirih dan menunduk, seolah merasa bersalah.
“Iya, udah. Aku ngerti kok. Enggak apa-apa, Sep. Mungkin lain kali aja,” jawabku sambil menghela napas pelan. Aku tahu, kadang nasib memang seperti ini, sulit dan tak selalu berpihak.
“Terus, habis ini kamu mau ke mana, Yan?” tanya Septian, mencoba mengalihkan perhatian.
“Enggak ke mana-mana. Sepertinya aku mau pulang aja, Sep. Soalnya, aku juga kebetulan lagi enggak enak badan,” jawabku sambil mengusap dahi, merasakan sakit kepala yang semakin mendera.
“Oh, gitu. Ya udah. Aku balik kerja dulu, ya,” katanya sambil melangkah pergi, kembali ke kesibukannya di kedai.
Aku terdiam sejenak, meresapi setiap kata yang baru saja keluar dari mulutku. Seharusnya aku bisa berbuat lebih. Tapi kenyataan berkata lain. Berpikir ke mana lagi aku harus mencari pekerjaan? Dengan hanya mengandalkan gaji sebagai pelayan kafe itu, rasanya tidak akan cukup untuk membayar biaya SPP semester ini. Kepalaku semakin pusing memikirkan semua ini.
Akhirnya merasa tak enak berdiri lama di depan kedai, aku memutuskan pergi. Aku tak tahu harus ke mana, hanya saja pikiranku terus berputar tentang bagaimana cara mendapatkan uang dalam waktu singkat. Kaki melangkah tanpa tujuan pasti, sampai akhirnya aku memutuskan pergi ke taman, tempat aku pernah menghabiskan waktu bersama Anggun. Taman itu, yang seakan menjadi saksi pertemuan kami, penuh dengan kenangan indah, kenangan yang seakan tak akan pernah terlupakan.
Aku duduk di bangku panjang, membiarkan tubuhku terkulai lemas. Pandanganku terarah ke jalanan yang sepi. Ya Allah, kenapa hidup ini begitu sulit? Seakan tak ada jalan keluar.
Pikiran rumit itu kembali menguasai, tapi tiba-tiba sebuah suara menyadarkanku.
“Rian!” panggil suara itu, terdengar sangat familiar. Suara seorang wanita, yang segera membuatku menoleh. Langkahnya terasa ringan, penuh keceriaan, dan senyumnya seakan melepas kerinduan yang sudah lama tertahan. Rambut hitam bergelombang dan matanya yang bulat, semuanya teringat jelas dalam ingatanku.