Idealism of Love

Marion D'rossi
Chapter #6

Benih. The Way Love Grows Between Us (1)

SEBUAH pertemuan, komunikasi yang terjalin, membuat kami semakin dekat. Kedekatan itu pun melahirkan benih-benih perasaan yang tumbuh dengan sendirinya. Dari ketidakinginan, perlahan menjadi keinginan. Dari ketidaktertarikan, menjadi ketertarikan. Bahkan, dari ketiadaan, lahirlah keberadaan. Benih-benih itu tumbuh dan berkembang. Begitu juga cinta yang tumbuh di antara kami. Entah sampai kapan cinta itu akan ada, tetapi aku yakin ia tak akan pernah mati. Ia akan terus bermekaran, seperti taman indah yang menghiasi bumi.

Beberapa minggu lalu, aku mengunjungi rumah Rina dan bertemu orang tuanya. Mereka menyambut kedatanganku dengan sangat hangat, menyiapkan berbagai hidangan spesial, dan yang paling tak terduga, mereka meminjamkan uang untuk membayar biaya semester kuliahku. Rasanya sungguh tidak enak menerima bantuan itu, tetapi karena hubungan kami yang sangat dekat, aku pun memutuskan menerima bantuan tersebut dengan janji akan mengembalikannya dalam waktu dekat.

Berkat bantuan Rina dan keluarganya, aku akhirnya bisa melanjutkan kuliah tanpa harus mengambil cuti. Hari-hari kuliah yang sibuk kini berlanjut, penuh tugas dan ujian.

Pada suatu hari, saat jam istirahat kampus, aku dan Septian duduk di lobi Fakultas Teknik Informatika, saling berbicara sambil bersandar di kursi.

“Semester ini makin sibuk aja kita, Bro. Tugas dari dosen kayaknya nggak ada habisnya,” keluh Septian, sambil memencet-mencet tombol keyboard laptopnya, seolah mencari hiburan dari tumpukan tugas yang menunggu.

“Jangan mengeluh! Kan namanya juga kuliah, Bro. Kita di sini untuk mencari ilmu, jadi siapin diri untuk segala tugas yang datang dari dosen,” jawabku, berusaha mengingatkan, meskipun aku tahu beban itu juga berat.

“Aku tahu, kok. Tapi kalau begini terus, nggak ada waktu istirahat buat kita yang kuliah sambil kerja. Bayangin aja, pulang kuliah langsung kerja, terus pulang kerja larut malam. Bisa-bisa remuk, nih, badan,” jawab Septian dengan keluhan, menggelengkan kepala, tampak lelah.

Aku tersenyum kecil mendengarnya. Memang, kadang hidup ini terasa penuh tantangan, tapi aku tahu, di balik semua itu, ada tujuan yang lebih besar.

“Nih, anak, jadi manusia kok banyak mengeluh. Jangan protes sama aku, deh! Kalau berani, protes aja sama dosen!” kataku, agak kesal, mendengar keluhan Septian yang tak ada habisnya.

“Yaelah, pake marah juga. Ya maaf. Aku cuma kesal doang, kok,” jawab Septian, bersungut-sungut, sambil menghela napas panjang penuh kebosanan.

Suasana hening sejenak. Septian tak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Namun, aku bisa mendengar suara keluhannya yang sangat pelan, hanya terlihat dari gerakan bibirnya yang tanpa henti, sesekali disertai desahan frustrasi.

Tiba-tiba, terdengar suara seorang wanita memanggil namaku, “Rian!”

Aku menoleh, dan di sana, berdiri Anggun, si primadona kampus. Senyumannya penuh makna, membuatku terkejut.

“A-Anggun?! A-ada apa?” tanyaku terbata-bata, kebingungan.

“Boleh duduk?” tanya Anggun, sambil menunjuk kursi di sampingku.

“Bo-boleh, boleh,” jawabku, agak kikuk.

Lihat selengkapnya