Seluas mata memandang, birunya laut terbentang luas. Samudra yang tak ada ujungnya, dan cahaya mentari yang hangat di sore hari ini menjadi saksi bisu atas kisah baru yang sedang kujalani. Dermaga panjang yang memanjang beberapa meter dari bibir pantai, tempat aku dan Anggun, primadona kampus, duduk berdua. Kami diam, menyaksikan keindahan alam yang begitu memukau, diciptakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan setiap makhluk di dunia ini.
Anggun, dengan pesona alami yang begitu memikat, tersenyum lega menatap birunya laut. Matanya yang bulat terlihat begitu indah, memantulkan sinar mentari yang mulai merendah, siap tenggelam di balik cakrawala. Angin pelan berdesir, mengibaskan rambut panjangnya yang hitam, semakin menambah pesona. Keindahan alam yang begitu memukau tiba-tiba terasa kalah dibandingkan dengan keindahan senyumnya. Aku tersadar, mungkin, aku telah benar-benar jatuh hati padanya. Entah bagaimana, hanya dalam waktu singkat, perasaanku yang semula enggan terbuka untuk cinta, kini disihir olehnya. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara membebaskan diri dari pesona dunia yang penuh kasih ini.
“Benar-benar indah, kan?” Anggun menyadarkanku dari lamunan.
Aku menoleh, menatap matahari yang mulai merunduk ke cakrawala. “Iya. Indah,” jawabku perlahan, hampir tak terdengar.
“Tapi, ini belum seberapa, loh! Sebentar lagi, keindahan yang sebenarnya baru akan dimulai, Yan!” serunya dengan semangat yang menyala, seolah alam ini tak pernah berhenti menyajikan keindahannya untuk kami.
“Ternyata ... kamu orang yang aneh, ya,” ujarku dengan nada pelan, mencoba mengalihkan perasaan yang mulai menggelora.
“Aneh? Maksud kamu?” Anggun mengerutkan dahinya, tampak bingung.
“Ya ... maksud aku ....” Aku terdiam sejenak, ragu untuk melanjutkan kata-kataku.
“Hmmm?” Anggun memiringkan kepalanya, tetap dengan kerutan di dahi. “Emang aku aneh kenapa, Yan? Kok diam aja?” tanyanya, menatapku dengan penuh perhatian.
“Enggak ... dulu aku pikir kamu orang yang susah diajak ngomong,” kataku dengan canggung.
“Dulu? Jadi, maksud kamu ... sebelum ketemu di kafe, kamu pernah—” Anggun bertanya, matanya berbinar penasaran.
“Ah, enggak. Enggak pernah sama sekali!” jawabku cepat, panik dan salah tingkah.
Anggun tertawa kecil, senyum simpulnya mengembang penuh misteri, begitu manis. Kedua pipinya yang membentuk lesung pipit semakin menambah pesonanya, menciptakan aura cantik yang tak bisa kuabaikan.
“Ngomong-ngomong, kamu berangkat kerja jam berapa, Yan?” tanya Anggun sambil menatapku dengan penuh perhatian.
“Jam enam lewat tiga puluh,” jawabku, merasa sedikit canggung.
Anggun membuka tasnya dengan gesit, mengeluarkan smartphone cantik berwarna pink. Ia melihat layar sejenak, kemudian berkata, “Sekarang baru jam lima lewat empat puluh lima menit, Yan. Dan sebentar lagi langit akan berubah warna jadi jingga yang indah. Jadi, enggak apa-apa sebentar lagi, kan?”
“Santai aja. Paling sunset lima belas menit lagi,” balasku dengan senyuman tipis.
“Ternyata emang benar!” seru Anggun, lalu menaruh kembali smartphone cantiknya ke dalam tas.
“Benar? Benar apa?” Aku pun bingung, penasaran.
“Memang benar kalau kamu itu orang yang asyik. Asyik diajak ke mana-mana. Asyik diajak ngomong. Pokoknya asyik, deh!” Anggun melontarkan senyum hangatnya lagi, tampak sangat senang.
Aku hanya diam, bingung harus merespons seperti apa. Kata-katanya jelas sebuah pujian, tetapi aku merasa tak perlu membalas. Aku hanya terfokus pada sang mentari yang kini semakin rendah, sejengkal lagi akan tenggelam di balik cakrawala.
“Sudah mulai ...,” ucap Anggun pelan, matanya tak lepas dari mentari yang akan hilang tertelan malam.
Pemandangan itu memang luar biasa. Mentari yang tenggelam memancarkan cahaya jingga yang indah, seolah mengajak untuk merasakan kedamaian. Tapi, entah kenapa aku merasa ada yang berbeda. Ketika aku menyaksikan sunset sendirian, itu tak pernah seindah ini. Mungkin karena keindahan ini terasa sempurna hanya karena aku bisa menikmatinya bersama Anggun.
Mentari sudah berada di ujung cakrawala. Langit yang tadinya cerah kini dihiasi warna jingga yang elok, seolah terbakar cahaya mentari yang mulai tenggelam. Desir angin laut menambah kesempurnaan pemandangan itu. Dalam beberapa detik, mentari akan menghilang sepenuhnya, membawa serta cahaya terangnya, dan malam akan datang dengan rembulan yang menyinari dengan miliaran cahaya lembut.
“Tahu, enggak, Yan?” tanya Anggun tiba-tiba setelah mentari sepenuhnya hilang di ufuk barat. Aku menoleh padanya, mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Mentari tenggelam itu mengajarkan kita bahwa waktu sangat berharga. Kita enggak boleh menyia-nyiakan waktu berharga itu dengan hal-hal bodoh. Setelah kehilangan sang mentari, barulah kita sadar betapa kita membutuhkan keindahan dan cahaya terangnya,” kata Anggun, matanya berbinar dengan kedalaman yang tak mudah dipahami.
“Benar yang kamu bilang,” jawabku, tertegun sejenak. “Tapi, bagaimanapun juga, kita harus siap kehilangan sesuatu. Karena kehilangan apa pun adalah bagian dari hidup. Hidup ini adalah belajar untuk kehilangan,” sambungku, lalu menghela napas panjang.
Anggun tersenyum. “Lagi-lagi tebakanku benar.”
“Tebakan kamu apa lagi?” tanyaku dengan nada penasaran.
“Hehe, menurut aku, kamu memang sosok yang sangat, sangat, sangat langka!” Anggun berbalik menatapku, matanya yang berbinar seperti menyimpan sebuah rahasia.
“Apa?! Langka?! Memangnya aku hewan?” jawabku setengah bercanda, kaget dengan ucapannya.
Anggun tertawa kecil, cekikikan sambil menahan perutnya dengan kedua tangan. Melihatnya seperti itu membuatku terheran-heran, tapi dalam sekejap, tawa kami pun pecah. Beberapa detik lalu, aku bahkan hampir lupa apa yang sedang kuhadapi. Tetapi perasaan ini—perasaan bahagia—membanjiriku kembali. Aku teringat bahwa sudah dua tahun terakhir aku tak tertawa seperti ini. Entah sejak kapan, selera humorku mulai berkurang, tapi kini perasaan itu datang lagi. Perasaan senang, yang seolah terlepas dari belenggu bertahun-tahun. Mungkin ini karena Anggun. Mungkin ini karena benih yang sudah tertanam, kini mulai tumbuh.
Tawa kami terhenti begitu bunyi alarm jam tanganku berbunyi. Aku menatap layar jam dengan panik. “Sial!” batinku, menepuk kening.