Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu rumah sederhanaku. Aku berjalan menghampiri pintu dan membukanya.
“Rina?! Ada apa? Tumben banget, nih. Silakan masuk!” kataku sambil terkejut melihat teman lama yang tiba-tiba datang.
Rina melangkah masuk dan duduk di ruang tamu kecilku, yang hanya cukup untuk satu meja dan dua kursi. Ruangan itu tampak sederhana, tapi terasa nyaman dengan suasana yang hangat.
“Wah, ternyata enggak ada yang berubah, ya, Yan?” ucapnya, matanya mengitari sekeliling ruangan, menelusuri tiap sudut rumahku.
“Ya, begitulah, Rin. Memangnya ada yang perlu berubah?” jawabku santai, meski ada sedikit perasaan canggung di dada.
“Hmmm. Aku ke sini karena kangen sama kampung ini. Kangen juga main-main ke rumah kamu,” katanya sembari menyilangkan kaki, matanya bersinar seperti mengingat kenangan lama.
“Oh, begitu. Ya begini-begini aja, kok. Keadaannya masih sama seperti dulu. Aku masih harus berjuang, Rin,” balasku, menghela napas dalam-dalam. Aku menunduk sejenak, lalu teringat sesuatu. “Oh, iya! Tunggu sebentar, ya!” Aku berdiri dan berjalan menuju kamar.
Tak lama kemudian, aku kembali dengan beberapa lembar uang yang sudah kukumpulkan. Aku mengulurkan tangan dan menyodorkannya pada Rina. “Ini, uang yang aku pinjam waktu itu. Aku kembalikan setengahnya dulu. Enggak apa-apa, kan?” tanyaku, sedikit ragu.
Rina menatapku sejenak, lalu tersenyum sambil menolaknya. “Yaelah! Besok-besok aja kalau kamu sudah punya simpanan yang cukup. Kalau aku ambil uang ini, nanti buat kebutuhan sehari-hari kamu gimana?” ucapnya khawatir.
“Ah, enggak apa-apa, Rin. Aku masih punya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau enggak kuberikan sekarang, nanti malah habis, loh,” jawabku sambil tersenyum kecil. “Apalagi ... sekarang aku sudah dipecat dari kafe tempat aku kerja.”
Rina terkejut mendengar kata-kataku. “APA?! Dipecat? Kok bisa?” tanyanya dengan nada terkejut, seakan tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
Aku pun duduk kembali di tempat semula, meletakkan uang yang tadi aku pegang di atas meja, dan menghadap Rina. “Ya ... aku sering terlambat dan enggak masuk kerja, Rin. Jadi, bos di tempat aku kerja udah enggak bisa ngasih kesempatan lagi.”
Rina terlihat bingung dan prihatin. “Masa cuma gara-gara terlambat, terus dipecat, sih? Emang kamu terlambatnya seberapa sering, Yan?” tanyanya, masih tidak bisa membayangkan betapa seriusnya hal itu bagiku.
“Enggak tahu, Rin. Pokoknya sering banget, deh. Yah, ini emang udah jalannya aja, kok. Enggak ada yang perlu aku sesali. Kan, yang salah emang aku,” jawabku sambil mengembangkan senyuman. “Ambil aja uangnya. Aku takut nanti nggak bisa ganti semuanya. Makanya, aku kasih setengahnya dulu. Kalau aku sudah kerja nanti, aku janji, deh, bakal lunasin. Oke?”
“Rian! Apa-apaan, sih?! Kita ini sahabatan dari kecil. Masa uang segitu aja aku perhitungkan sama sahabat aku?” Rina menelengkan kepala dengan tegas. “Enggak apa-apalah. Terserah kapan kamu mau ganti uang itu, aku enggak masalah, kok!”
“Aku tahu, Rin. Tapi, aku yang enggak enak sama orang tua kamu. Aku tahu, kok, kalau kamu orangnya baik banget. Tapi ... ya, itu. Aku enggak enak,” jawabku, sedikit merasa canggung.
“Ih! Kan ibu dan ayahku sudah bilang kalau kamu belum punya simpanan yang cukup, kamu enggak usah mikirin buat ganti uang itu. Kamu kuliah aja dulu. Jalanin! Jangan terlalu dipikirin soal uang!” Rina menukas, seakan sudah cukup dengan pembicaraan ini.
“Maunya sih begitu, Rin. Tapi, kan, kamu tahu hidup aku serba kekurangan kayak gini.” Aku menarik napas berat.
“Pokoknya aku enggak mau terima uang ini, titik!” pekik Rina sembari menyodorkan uang yang masih ada di tangannya. Mata Rina menatapku dengan penuh keyakinan.
Aku hanya bisa menghela napas melihat sikap keras kepala Rina yang tak pernah berubah sejak dulu. Sejak kami kecil, dia selalu begitu—baik hati dan selalu ada untukku.
“Sebenarnya aku ke sini itu mau ngajak kamu keluar, Yan. Bukan mau nagih utang!” tandasnya dengan nada sedikit judes.
“Keluar? Ke mana?” tanyaku, penasaran dengan rencana Rina.
“Ya ... ke mana ajalah. Yang penting bisa hepi-hepi dulu. Apalagi, sekarang kamu pasti lagi bete-betenya, kan?” jawabnya, menyeringai.
“Ya, juga sih ....” Aku tak bisa menahan sedikit tawa, meskipun perasaan kecewa masih mengendap di hati.
“Ya udah, pas banget kalau gitu. Yuk, keluar! Ganti baju dulu sana! Masa mau keluar pakai sarung doang, sih!” seru Rina sambil tertawa kecil melihat penampilanku yang tampak seperti bapak-bapak.
“Oke, deh. Tunggu sebentar, ya!” jawabku, lalu beranjak menuju kamar.
Tak lama, aku keluar dari kamar dengan mengenakan celana jeans yang agak kekinian. Aku sedikit merasa lebih percaya diri dengan penampilan ini, meskipun tetap saja terlihat agak aneh jika dibandingkan dengan penampilanku yang biasa.
“Yuk! Udah siap, nih!” seruku saat keluar.
“Nah, gitu! Baru ganteng! Sekarang pasti cewek-cewek pada tergila-gila sama kamu, Yan!” puji Rina, sambil cekikikan.
“Bisa aja kamu, Rin.” Aku hanya nyengir mendengar pujian Rina.
“Yuk, jalan!” Rina berjalan menuju mobil mini biru yang terparkir di halaman rumahku.