CINTA memang bisa tumbuh di hati seseorang hanya dengan komunikasi. Jika kita membayangkan cinta sebagai sebuah tumbuhan, tentu ada pula perusaknya—sebuah hama yang bisa mengganggu pertumbuhannya. Dalam hal ini, hama itu adalah keberadaan pihak ketiga. Benih cinta yang kini aku pegang, aku yakin, adalah benih yang tumbuh semakin besar setiap harinya. Dulu, aku pernah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak terperangkap oleh cinta, tapi kini aku menyadari betapa indahnya cinta itu. Walau demikian, cinta ini juga memberi rasa resah yang tak bisa kuhindari.
Bagaimana tidak merasa resah? Aku dan Anggun bagaikan langit dan bumi, seolah-olah kami berasal dari dua dunia yang sangat berbeda. Kami ibarat kutub utara dan selatan, yang jaraknya begitu jauh, bagaimana mungkin kami bisa bersama? Bagaimana mungkin kami bisa menyulam benang cinta yang baru tumbuh, jika jarak itu terlalu lebar dan tak terjangkau?
Ting! Tung!
Dering handphone baruku mengalihkan perhatianku. Sebuah pesan masuk di aplikasi Messenger, dan pada bar notifikasi, tertulis nama: Anggun.
Beberapa hari terakhir, kami memang mulai lebih sering berkomunikasi melalui chat. Anggun mulai rajin mengirim pesan, bahkan meneleponku. Kami berbagi cerita tentang kehidupan pribadi masing-masing, dan rasanya, saat ini tak ada batasan yang menghalangi kami untuk saling membuka diri.
Hari ini adalah Senin, dan tentu saja, kegiatan kuliahku padat. Cuaca juga sudah berubah. Meski jam di tanganku menunjukkan pukul 10.00 pagi, udara sudah terasa panas menyengat. Ditambah lagi, AC di ruang kelas sedang dalam proses perbaikan, dan ruangan yang ukurannya kira-kira 8x6 meter terasa sesak dengan 30 mahasiswa yang ada di dalamnya. Panasnya udara membuatku merasa tak nyaman, dan aku pun terpaksa menggunakan buku tulis sebagai kipas, mencoba meredakan rasa panas yang membuat keringat menetes di leherku.
Tak lama setelah itu, dosen bersama asistennya memasuki ruangan. Mata kuliah kali ini adalah Logika Pemrograman—suatu mata kuliah yang benar-benar memusingkan, sesuai dengan namanya.
“Baiklah! Hari ini, karena saya ada keperluan rapat, saya serahkan mata kuliah ini kepada asisten saya, Prastiyono,” ujar dosen kami sebelum akhirnya keluar ruangan.
Aku memandang dengan terkejut saat seorang lelaki kurus berdiri di depan kelas, siap menggantikan posisi dosen. Lelaki itu adalah Pras—Pras yang beberapa hari lalu pernah kutendang perutnya, dan juga Pras yang berlaku kasar pada Anggun.
Pras, yang menyadari kehadiranku, langsung melotot penuh dendam. Aku tahu, mungkin dia masih merasakan amarahnya sejak kejadian beberapa hari yang lalu.
Setelah dosen keluar, suasana kelas menjadi lebih tegang. Pras memandang kami semua, lalu dengan suara tegas ia berbicara, “Baiklah! Dengar! Salah satu dari kalian, maju ke depan dan tulis soal dari tugas kalian di papan ini sekarang!”
Saat mataku bertemu pandangan Pras, tatapannya masih penuh kebencian. Langkahnya pelan.
“Eh! Kamu. Ada apa?” tanya Pras dengan nada sinis.
Aku pun hanya bisa menjawab, “T-tidak apa-apa.” Aku buru-buru membuang muka dan mengalihkan pandanganku darinya.
Kelas menjadi hening. Semua orang seolah terdiam, tak ada yang berani bersuara. Septian, yang duduk di sebelahku, mulai mencoba mencolek bahuku, ingin tahu apa yang sedang terjadi antara aku dan Pras. Namun, aku tidak menghiraukannya.
“Kamu, maju! Tulis soal-soal ini di depan!” perintah Pras lagi, kali ini sambil menunjuk papan tulis.
Aku tidak punya pilihan selain mengikuti perintahnya. Meski aku merasa sangat tidak nyaman, apa yang bisa kulakukan? Lagi pula, dia adalah asisten Pak Tono, yang mengajar mata kuliah Logika Pemrograman. Mustahil rasanya jika aku melawan atau membantahnya.
Ketika aku berdiri di depan papan tulis, Pras mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik dengan nada penuh ancaman, “Kamu akan tahu akibatnya karena sudah berurusan denganku. Kamu enggak akan kubiarkan lolos begitu aja.”
Suara Pras begitu meyakinkan, jelas sekali dia menaruh dendam yang dalam padaku. Namun, meski begitu, aku tak akan mundur. Aku tahu ini bukan hanya soal aku dan dia, tapi ini adalah tentang apa yang benar dan salah. Biarlah Tuhan yang menentukan jalan hidupku.