Idealism of Love

Marion D'rossi
Chapter #11

Presence. A Virus on Love (2)

Jam di handphone sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi mataku belum juga merasa kantuk. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat Anggun. Entah apa yang terjadi padanya, aku tidak tahu. Aku merasa enggan terus-menerus mengirim pesan kepadanya karena takut mengganggu. Memang, aku juga merasa tidak berhak menanyakan keadaan atau apa pun tentangnya. Aku hanya seorang lelaki yang ada ketika dia merasa kesepian. Ketika dia merasa tidak kesepian, maka aku pun seperti hilang dari hidupnya. Begitulah menurutku.

Karena mataku yang masih terjaga, aku memutuskan keluar, mencari udara segar. Mungkin aku bisa berpikir lebih jernih sambil melihat langit malam yang bertaburan bintang, pikirku.

Malam itu indah, dihiasi bintang-bintang berkelap-kelip di langit. Seperti yang pernah dikatakan Anggun, bahwa memandangi cahaya bintang bisa membuat pikiran menjadi jernih. Ternyata, kata-katanya benar. Atau mungkin aku hanya mulai terbiasa dengan kebiasaannya? Entahlah. Yang pasti, malam itu pikiranku terasa damai.

Tiba-tiba, cahaya lampu mobil yang berbelok menyilaukan mataku. Mobil itu tampaknya tidak asing. Mobil itu menepi, mesin dimatikan, dan seorang perempuan keluar darinya. Rambutnya yang bergelombang dan parasnya yang cantik membuatku tahu siapa dia—Rina, teman masa kecilku. Dengan langkah santai, dia mendekat dan melambaikan tangan.

“Rian?! Sudah jam setengah sebelas, kamu masih di sini aja? Ngapain? Sendirian pula,” celoteh Rina, lalu duduk di sampingku.

“Hehe. Enggak ada apa-apa, sih. Cuma lagi suntuk malam ini. Makanya, sekali-sekali keluar dan hirup udara segar, biar enggak kebanyakan mikir tentang kerasnya hidup,” jawabku sambil tersenyum tipis.

“Seharusnya kamu ngajak aku, dong,” balas Rina dengan canda.

“Lain kali aku ajak, deh. Dan kamu? Habis dari mana? Atau mau pergi ke mana?” tanyaku, penasaran.

“Aku habis dari rumah temanku. Biasalah, mengerjakan tugas kuliah,” jawab Rina sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Oh, begitu. Sampai jam segini? Sepertinya tugasmu banyak banget, ya?” tanyaku lagi.

“Iya, banyak banget, Yan. Kamu pasti tahulah,” jawab Rina sambil menghela napas lelah. “Yan! Aku minta nomor kamu, dong. Biar gampang hubungi kamu,” lanjutnya.

“Kebetulan banget. Untung kamu minta sekarang. Coba kalau kemarin-kemarin,” jawabku sambil tersenyum.

“Memangnya kenapa kalau aku minta kemarin-kemarin?” tanya Rina, terlihat bingung.

“Kalau kemarin-kemarin aku enggak punya, Rin. Aku baru beli handphone beberapa hari yang lalu,” jelasku sambil merogoh saku celana dan mengeluarkan benda pipih itu.

“Kalau bisa, sih, WA aja. Jarang punya pulsa aku. Kalaupun ada, pasti aku beli paket internet,” lanjut Rina.

“Ya, udah. Nih, kamu catat aja. Aku belum hafal soalnya,” kataku sambil memberikan handphone tersebut pada Rina.

“Ngomong-ngomong ... ini siapa, Yan?” tanya Rina sambil memperlihatkan sebuah foto seorang wanita di handphone-ku. Wanita itu memang Anggun, dan foto tersebut kuambil beberapa hari yang lalu.

Dengan cepat aku merebut handphone dari tangannya. “B-bukan siapa-siapa, Rin. I-ini teman kampus aku. Kamu ingat? Yang di taman waktu itu? Nah, perempuan yang waktu itu.”

“Oh, yang waktu itu. Ya, aku tahu,” jawab Rina dengan anggukan.

Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Kami terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Raut wajah Rina pun berubah perlahan, seakan ada yang mengganjal di pikirannya.

“M-malam ini dingin, ya?” ucap Rina akhirnya, mencoba memecah keheningan yang menyelimuti.

“I-iya, dingin. Mau pakai sweater punyaku?” tawarku.

Lihat selengkapnya