Idealism of Love

Marion D'rossi
Chapter #12

Gersang. The Fragility of a Tree in the Heart (1)

MUSIM panas selalu identik dengan udara yang terik. Namun entah mengapa, hari ini, awan hitam mulai bergerak cepat, seakan ada yang tidak beres. Kilatan-kilatan halilintar perlahan mulai tampak di balik kelamnya awan. Suara gemuruh sang geledek terdengar begitu keras, memekakkan telinga. Sesekali, kilat menyambar, cahayanya menyebar luas, menerangi seluruh langit. Tanpa sadar, aku menutup kedua telinga, berusaha menahan gemuruh yang seolah membelah udara. Dalam kepanikan, aku meraih sehelai sarung dan menyelimuti tubuhku, lalu terbaring di kamar yang hanya beralaskan matras tipis.

Tiba-tiba, pikiranku melayang pada suatu masa, di saat seorang wanita anggun melemparkan senyumnya, mengubah hati yang sebelumnya gelap menjadi terang. Senyumnya, yang dulu begitu tulus, telah mengubah pandanganku tentang cinta. Senyumnya juga yang mengubah caraku berpikir—sebelumnya aku selalu menganggap uang adalah segalanya. Namun, senyum itu kini seakan memudar dalam ingatanku. Seolah-olah hilangnya dirinya menjadi tanda bahwa senyum itu hanyalah khayalan belaka. Tidak ada yang pernah terjalin antara aku dan dia. Tapi, apakah benar senyum itu hanya kebohongan? Atau mungkin sekadar pelampiasan perasaan sepi yang ia rasakan? Aku tidak tahu. Yang pasti, senyum itu kini meninggalkan resah yang tak bisa kubuang, terutama saat aku tak lagi bisa melihatnya.

Hujan kini turun deras, mengguyur segala penjuru dunia. Hawa dingin pun langsung meresap ke tubuhku. Sarung yang melilit tubuhku terasa tak cukup menghalau dingin yang menusuk. Sesekali tubuhku bergetar, tapi aku tahan agar tak kehilangan kendali. Kini, sebuah ponsel berada di genggamanku. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku membuka galeri, dan di sana, aku menemukan wajah sendu seorang wanita. Foto itu adalah wajah Anggun, wanita yang pernah mengisi hariku. Aku memperbesar gambarnya, tak puas hanya melihatnya lewat layar. "Oh Tuhan, di manakah dia sekarang? Aku merindukannya ...," batinku, seraya memejamkan mata.

Saat aku terhanyut dalam kenangan itu, suara dering ponsel yang nyaring mengusik. Panggilan masuk, dari Rina. Aku tak mengangkatnya. Bukan karena takut atau ingin menghindar dari kenyataan, tapi aku tidak bisa menyakiti seorang wanita. Terlebih lagi, Rina adalah teman masa kecilku.

Jika aku diminta jujur, aku tidak bisa mencintainya. Alasannya sederhana: aku tak pernah melihat Rina sebagai wanita yang bisa kunikmati cintanya, atau yang bisa menjadi pasangan hidupku.

Aku tahu, mungkin tindakan seperti ini akan menimbulkan pemikiran dalam benak Rina—bahwa aku adalah lelaki pengecut, lelaki yang akan selalu berlari dari kenyataan. Namun, aku tak peduli. Seakan-akan, kepedulianku kini hanya milik satu orang saja. Perhatianku seakan sepenuhnya tertuju pada satu wanita, dan dia bukanlah siapa-siapa selain wanita bertubuh elok bernama ... Anggun.

Meskipun Rina terus berusaha mendekat, meskipun ia tak pernah berhenti memberikan perhatian, aku hanya bisa terjebak dalam bayang-bayang Anggun. Wanita itu—senyumnya, tatapannya—semuanya menguasai pikiranku. Rasanya, tak ada tempat untuk yang lain. Tak ada ruang untuk perasaan yang mungkin tumbuh untuk Rina. Anggun telah merebut seluruh ruang dalam hatiku, dan tak ada yang bisa mengubahnya.

 

Beberapa minggu telah berlalu, tapi wanita cantik nan anggun itu masih juga tidak menampakkan diri. Sementara itu, kerinduanku semakin menggebu, seolah tak sabar ingin segera melihat sosoknya kembali. Perasaan ini pun mulai memengaruhi setiap aspek kehidupanku. Kuliah terasa begitu membosankan. Padahal seharusnya aku berfokus untuk segera mendapatkan pekerjaan, agar bisa terus membiayai kuliah dan kehidupan sehari-hariku. Namun, semua terasa hampa. Seperti sebuah masakan yang tak diberi bumbu.

Sepulang kuliah, aku berencana bertemu Rina. Ia mengirim pesan bahwa dia akan menjemputku setelah jam kuliahnya selesai. Aku pun berangkat menuju kantin, duduk di sana dengan hati yang kosong, menunggu waktu berlalu.

"Woi, Rian! Bengong-bengong terus dari kemarin. Kamu kenapa, sih?" tanya Septian sambil duduk di sampingku, mencoba menarik perhatian. "Belum sarapan kamu? Beli sesuatu sana! Mumpung kita ada di kantin, nih."

"Enggak. Aku enggak kenapa-kenapa, Sep," jawabku dengan nada lesu.

"Rian! Aku tahu mana wajah kamu yang biasanya. Meskipun wajahmu yang biasa enggak jauh berbeda dari yang sekarang, sih," sahutnya sambil sedikit menekankan kata "biasa".

Aku terdiam. Tidak ada gunanya membalas perkataan Septian. Dia akan terus bertanya tentang masalahku sampai mendapatkan jawaban yang bisa dia terima.

"Eh, lihat, tuh! Si asisten dosen sepertinya sedang menuju kemari!" seru Septian, menyuruhku melihat ke arah datangnya seseorang. "Kamu kenal, kan?"

Kutolehkan pandangan dan melihat sosok lelaki bertubuh kurus yang sedang berjalan ke arah kami, dengan senyum sinis yang tak tertahankan.

"Gimana rasanya? Sakit, kan, ditinggal seseorang?" bisik Pras kepadaku, menyeringai puas. "Inilah yang kamu dapat kalau coba-coba melawanku!"

Aku tidak bisa menahan rasa kesal yang mulai mengalir. Pras, lelaki ini, memang selalu punya cara untuk mempermainkan orang lain. Setelah berbicara seperti itu, dia melangkah dan duduk di meja kosong, tapi seringainya tetap mengarah padaku.

Aku mulai menduga, mungkin yang terjadi pada Anggun adalah ulah Pras. Pras sangat cemburu ketika melihat Anggun begitu dekat denganku, dan mungkin ia melakukan sesuatu untuk menjauhkan kami.

"Sialan! Dia bilang apa sama kamu, Yan?" seru Septian, tampak marah dan mengepalkan tangan. "Biar kutonjok wajah gantengnya itu sampai penyok!"

Perasaan marah dan frustrasi menyelimuti diriku. Tapi aku tahu, semakin aku berpikir tentang Pras dan tindakannya, semakin aku merasa terjebak dalam permainan yang tak kuinginkan.

"Enggak ada. Sudah, sudah. Kamu jangan emosi begitu. Enggak usah dipikirin. Orang kaya emang suka begitu," jawabku berusaha menenangkan Septian yang jelas-jelas terlihat gusar.

"Aku bingung sama kamu, Yan. Padahal aku ini teman kamu, tapi sedikit pun kamu enggak mau cerita masalah kamu ke aku," ujar Septian, nada suaranya agak kecewa, seolah merasa tertutup dan terabaikan.

"Baiklah. Aku cerita sama kamu. Tapi, kamu janji enggak akan melakukan hal macam-macam, oke?" ujarku dengan ragu, melihat ekspresinya yang masih penuh keraguan.

"Ya ... tergantung bagaimana ceritanya, sih," jawabnya, masih sedikit cemas.

"Kalau begitu enggak usah, deh."

"Eh, iya, iya. Aku janji enggak bakalan melakukan apa-apa," kata Septian, meskipun ekspresinya masih menunjukkan keraguan yang jelas.

Lihat selengkapnya