Idealism of Love

Marion D'rossi
Chapter #13

Gersang. The Fragility of a Tree in the Heart (2)

Malam itu begitu indah, dipenuhi keheningan yang hanya terpecah oleh bisikan angin. Sebuah pesan singkat yang datang melalui Messenger menarikku ke sebuah jembatan berhias lampu kelap-kelip. Lampu-lampu itu berbaris rapi sepanjang tali tembaga yang membentang, menciptakan suasana yang magis di tengah malam. Di ujung sana, aku melihatnya—wanita yang senyumnya tak pernah benar-benar hilang dari ingatanku. Wanita yang telah lama menghiasi pikiranku, Anggun.

Saat dia berdiri di hadapanku, wajah sendunya seakan memantulkan semua kesedihan yang tersembunyi. Auranya begitu kuat, kesedihannya terlihat jelas di matanya yang bulat. Anggun mengenakan gaun kuning gelap, yang semakin menonjolkan kecantikannya. Namun, ekspresi sendu yang terukir di wajahnya justru membuatku terdiam. Ada sesuatu yang berbeda pada dirinya malam itu, dan aku tak tahu apa yang sedang terjadi.

Aku tak bisa menahan diri. Aku memanggil namanya, "Anggun."

Suaranya merespons pelan, "Rian."

Begitu pilu, begitu penuh dengan rasa yang tak bisa aku mengerti. Sebelum aku bisa bertanya lebih lanjut, Anggun mengempaskan tubuhnya ke dalam pelukanku. Tangan rampingnya merangkulku erat, dan aku merasa kehangatan tubuhnya menyelimuti diriku. Namun, ada sesuatu yang menambah berat di dadaku. Setitik air mata menetes di bahuku, membuatku tersadar bahwa wanita yang selalu ceria ini kini terluka.

"Anggun ... kamu—" Aku mulai berbicara, tapi dia langsung menyela.

"Jangan, Yan! Jangan tanya dulu!" Suara Anggun terbata, "Aku masih ingin tetap seperti ini. Aku enggak mau kamu melihat wajah jelekku saat menangis." Dengan suara bergetar, dia semakin mempererat pelukannya, seolah meminta perlindungan dari dunia yang terasa begitu keras baginya.

Aku terdiam sejenak, tetapi hatiku begitu tergerak untuk tidak melepaskan pelukan itu. Dengan perlahan, aku membalas dekapan Anggun, semakin erat, seolah tak ingin melepaskannya. Aroma wangi dari rambut hitamnya terasa begitu memikat, menambah kedalaman kehangatan yang kurasakan. Meskipun malam itu dingin, tubuhnya yang rapat di tubuhku menghilangkan segala rasa beku.

Detak jantungku seakan melesat tak terkendali. Sebuah perasaan yang datang begitu mendalam, tak bisa kubendung. Inikah yang disebut hasrat manusia? Ataukah hanya dorongan yang datang begitu saja? Aku tak tahu. Yang pasti, sebuah dorongan kuat menguasai diriku, membuatku tak bisa menahan diri lagi. Dengan perlahan, kutarik wajah Anggun, dan bibir kami bertemu—hangat, penuh keinginan. Anggun terbelalak, terkejut, tapi seolah tak bisa menghindar. Perlahan, dia merespons kecupanku, menyambutnya dengan kelembutan yang membuatku semakin terhanyut.

Sebuah momen yang penuh perasaan, sebuah pertemuan yang tak bisa lagi aku kontrol. Namun, dalam dekapan itu, aku tahu bahwa semuanya berubah, dan kami berdua tahu bahwa tak ada jalan kembali.

Aku tak tahu sudah berapa lama ciuman itu berlangsung. Waktu seakan berhenti, hanya ada kebingungan dan perasaan yang meluap-luap di dalam diriku. Yang kutahu, bibirku masih menempel erat dengan bibir tipisnya. Astaga! Aku harus mengakhirinya, batinku dengan panik.

Akhirnya, dengan perlahan, aku melepaskan diri dari ciuman itu. Suasana seketika mencekam. Anggun tidak lagi menangis. Kini wajahnya datar, tanpa ekspresi, seakan ada dinding yang membatasi antara kami. Aku terus mencuri pandang, menatap wajahnya yang kosong, dan setiap kali mata kami bertemu, dia hanya menundukkan wajahnya, memerah.

“M-maaf, aku ... eng-enggak bermaksud ...,” ucapku dengan ragu, berusaha menjelaskan, tetapi kata-kataku terhenti begitu saja. Anggun masih diam, tak memberikan reaksi. Aku tak tahu apa yang dia rasakan, apakah ia marah, bingung, atau justru senang. Aku bingung bagaimana memulai percakapan ini, bagaimana mengatasi ketegangan yang tebal di antara kami.

“Terima kasih, Yan,” kata Anggun dengan suara yang terdengar mantap, seolah mengakhiri kebisuan yang ada di udara.

“T-terima kasih? U-untuk apa?” Aku bertanya, masih terkejut dengan ucapannya.

“Terima kasih karena kamu sudah mau meluangkan waktu untuk datang ke sini,” jawab Anggun, menoleh dan memberikan senyuman yang tampak pasrah. Senyum yang bukan lagi senyuman yang kuterima dulu, senyum yang penuh dengan keikhlasan.

“Eng-enggak apa-apa. Aku ikhlas,” balasku, meskipun dalam hati aku merasa ada sesuatu yang hilang.

“Yan, aku ternyata enggak pernah salah. Sejak awal, aku sudah menebak kamu memang lelaki yang baik,” kata Anggun, matanya kini menatapku dengan tajam, serius, seolah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.

Lihat selengkapnya