SETELAH semua yang terjadi antara Anggun dan aku, kini aku merasa harus melakukan sesuatu yang besar untuk melindungi cinta kami. Semalaman, pikiranku tak henti-hentinya berputar, mencari cara bagaimana agar kami bisa selalu bersama, tanpa ada yang menghalangi. Aku tahu, untuk cinta yang tulus, pengorbanan itu penting. Namun, aku juga sadar bahwa ada batas dalam setiap pengorbanan. Meski begitu, setiap kali membayangkan wajah sendu Anggun atau memikirkan kemungkinan dia akan meninggalkanku, perasaan itu begitu menyesakkan.
Pagi itu, aku memutuskan untuk melangkah ke ruang tamu, ingin tahu siapa yang datang berkunjung.
Aku membuka pintu dan di hadapanku berdiri sosok Anggun, dengan wajah yang kembali memancarkan kesedihan. Seolah ia membawa beban yang berat, meskipun tetap anggun seperti biasa.
“Anggun? Silakan, masuk!” ucapku, seraya membuka pintu lebar-lebar, memberi ruang untuknya.
Tanpa berkata lebih banyak, Anggun melangkah masuk dan duduk di kursi tua yang ada di ruang tamu kecilku, kursi yang sudah banyak kenangan dari orang tuaku.
“Rian.” Anggun akhirnya membuka suara, matanya menatapku penuh makna.
“Hmm?” balasku, penasaran dengan apa yang ada dalam benaknya.
“Aku ingin mengajak kamu ke rumahku,” ujarnya, suaranya terdengar pelan, tapi penuh dengan harapan.
Mungkin, bagi sebagian orang, ini adalah momen membahagiakan—seorang kekasih mengundang pasangannya bertemu orang tuanya. Namun, bagiku situasi ini terasa sangat berbeda. Aku tahu, di rumahnya nanti, aku akan bertemu seorang pria paruh baya berwibawa, ayah Anggun. Bagaimana aku bisa menghadapi pria itu? Pria yang pasti memiliki harapan besar untuk anaknya.
“Ke rumahmu?” Aku terkejut, sedikit ragu. “Tapi ... bagaimana dengan ayahmu?”
Anggun menundukkan kepala sejenak, lalu menjawab, “Justru, dia yang ingin aku membawa kamu ke rumah. Aku enggak tahu apa yang dia pikirkan tentangmu, tapi mungkin, jika dia melihatmu langsung, bisa saja dia berubah pikiran dan mulai menerima hubungan kita. Meski sebenarnya, aku juga enggak terlalu yakin.”
Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba mencerna kata-katanya. Rasa khawatir masih ada, tapi aku tak bisa menolak keinginannya.
“Ya udah,” jawabku, akhirnya. “Aku mau datang ke rumahmu. Aku juga berharap ayahmu bisa melihat kita dengan cara yang berbeda, dan menerima hubungan kita.”
Dengan rasa takjub yang masih mengendap, aku akhirnya setuju menghadiri undangan mendadak dari ayah Anggun. Setelah bersiap-siap, mandi, dan berpakaian rapi, aku dan Anggun segera melaju ke rumahnya.
Rumah itu … begitu megah, seakan sebuah istana. Begitu kami tiba, dua sekuriti langsung membuka gerbang besar dengan sigap, setelah Anggun membunyikan klakson mobil. Aku masih tak bisa lepas dari kekaguman atas kemegahan rumah ini.
“Sudah siap?” tanya Anggun dengan senyum ringan setelah mematikan mesin mobil.
“Ya, aku siap,” jawabku, berusaha terdengar yakin meski di dalam hati terasa ada sedikit gugup.
“Yuk!” Anggun membuka pintu dan mengajakku keluar dari mobil. Ia menggenggam tanganku, menuntunku memasuki rumahnya yang luas dan anggun itu.