Senada Rengganis menatap lelaki di hadapannya dengan mata memicing. Seolah masih berusaha menilai apakah yang duduk di hadapannya ini adalah Sakala Lencana atau bukan. Mereka memang bertemu di resepsi Milani kemarin, dan terlibat obrolan. Tapi, Nada yakin Kala tidak memberi kabar apa pun tentang keinginan untuk makan siang bersama. Nada justru mengira, dia tidak akan bertemu Kala lagi. Lelaki itu mungkin akan kembali ke Belanda, dengan hati patah dan hancur berkeping-keping.
Tapi siang ini, Nada tak bisa untuk tidak menggelengkan kepala ketika bola mata cokelat terangnya menemukan Kala tampak santai. Lelaki itu tengah memilah menu makanan apa yang kiranya enak.
Seperti kata Mega tadi, Kala memang tampan, sangat tampan. Semasa kuliah, lelaki itu adalah The Most Wanted mahasiswi satu kampus. Dan Milani, sahabatnya adalah perempuan beruntung yang berhasil menaklukan hati Kala. Hingga hari kemarin di mana akhirnya Milani menikah dengan lelaki lain. Bukan Kala yang selama bertahun-tahun menjadi kekasihnya.
"Kamu mau pesan apa, Nad?"
Nada berkedip, menurunkan tatapan untuk memindai daftar menu yang sedari tadi terbuka lebar di hadapannya. "Nasi goreng aja, Ka."
"Hanya nasi goreng?" Kala menaikkan sebelah alis. Sedikit terkejut dengan pilihan menu makan Nada. Padahal Kala mengajak Nada makan siang di salah satu restoran yang cukup bagus.
Nada mengangguk yakin. Lewat sudut mata ia melirik kanan kirinya dan menemukan beberapa perempuan memandang ke arahnya dengan kasak kusuk. Ralat. Bukan melihat Nada, melainkan lelaki tampan di depannya yang tampak tidak peduli dengan lirikan beberapa orang.
"Udah aku pesenin makanan lain. Nggak jadi nasi goreng." Kala bersuara, memutus kegiatan Nada yang melirik kanan kiri.
"Terus ngapain tadi nanyain kalau udah kamu putusin mau pesan apa?"
Kala tergelak, tawa renyah yang membuat nilai plus pada wajah tampan lelaki itu. Membuat Nada berpikiran satu hal, mengapa Milani begitu tega memutuskan Kala hanya karena bosan hubungan jarak jauh.
Kala adalah sosok lelaki tampan berhati baik. Selama kuliah dulu, Nada tidak pernah mendengar kabar miring tentang lelaki itu.
"Nad, kamu banyak melamun, deh." Kala melambaikan tangan di depan wajah Nada. Sadar jika perempuan yang ia ajak makan bersama siang ini tampak lebih tertarik untuk termenung daripada membuka obrolan dengannya. "Nggak suka ya, aku ajak makan."
Nada sedikit salah tingkah karena tertangkap melamun. "Suka kok. Cuma rada kaget, aja."
Kala membuka bibir tanpa suara, melirik jemari Nada yang saling kait di atas meja. Saat menyeberang jalan tadi, Nada menolak gandengan tangan dengannya. Dan baru ia sadar, kehadirannya memang cukup mengejutkan. "Sorry, ya. Aku datang tiba-tiba. Dan langsung culik kamu buat makan siang bareng."
"Kalau aku diculik, berarti aku boleh teriak minta tolong." Nada menaikkan sebelah alis dengan senyum geli terukir.
"Teriak aja. Nanti aku juga mau teriak." Kala mengedikan bahu. Menggoda.
"Kenapa kamu ikut teriak?"
"Biar rame."
Nada tergelak pelan. Tawa pertama yang akhirnya lolos dari bibirnya sejak bertemu Kala. Dan pemandangan itu tak luput dari tatapan Kala. Lelaki itu pun turut serta mengulas senyuman. Ada lega yang menyelinap di dadanya saat akhirnya ia berhasil mencairkan suasana.
"Astaga. Aku gugup ketemu bule. Sorry." Nada meringis, meredakan tawanya. Mengungkap perasaannya yang sesungguhnya saat bertemu Kala.
Kala berdecak. "Bule apaan? Wajahku khas Indo. Darahku apalagi, mengalir darah Indonesia."