Identitas Rasa

Reinsabiila
Chapter #5

4. Si Pengganggu

Nada bergegas keluar ruang kerjanya. Beberapa menit setelah jam kerjanya usai. Dia memakai sembarangan tas selempangnya dan merogohnya untuk mencari kunci motor. 

Seusai makan siang dengan Kala yang karetnya minta ampun, karena lelaki itu teramat pandai membawa cerita sehingga melantur ke mana-mana. Nada berusaha bersikap biasa dan menghindari obrolan dengan beberapa rekan kerjanya. Sudah bisa dipastikan, kepergiannya siang tadi dengan Kala pasti menarik perhatian. 

"Nad, tunggu dong!"

Teriakan Talia membuat langkah Nada semakin bergegas. Kalau tidak lupa masih di area hotel, dia pasti sudah berlari tunggang langgang. Malas saja mendengar berondongan pertanyaan Talia yang Nada yakini seputar general manager baru mereka. Yang terhormat Sakala Lencana. 

Detik ketika ia hendak menuruni undakan tangga menuju lahan parkir, Nada mengerem langkahnya. Berhenti seketika. Dua manik matanya menemukan sosok Sakala Lencana sedang berdiri didekat sebuah mobil hitam dan tampak menempelkan ponsel di telinga. Bersamaan dengan itu, dering ponsel yang ia simpan di tas selempangnya terdengar. 

Nada mengeluarkan ponselnya dan terpaku mendapati sederet nama yang kemudian membawa manik matanya kembali menatap Kala di kejauhan. Ada perlu apa lagi Kala menghubunginya? pikir Nada. 

"Sakala."

Satu nama yang disebutkan tiba-tiba itu membuat Nada berjengit kaget dan ponselnya lolos dari genggaman. Secepat yang ia bisa, Nada menyelamatkan ponselnya. Baru kemudian ia melotot sebal ke arah Talia yang berani mengintip siapa si penelepon di ponselnya. 

"Fix. Kamu dan pak Sakala pasti ada affair." Talia bersedekap dada, menaikkan dagu dengan tatapan meminta penjelasan yang diarahkan pada Nada. Lalu senyum menggoda terbit perlahan di bibir ranum yang dipoles lipstik merah muda. "Atau ... kalian memang ada main di belakang. Terbukti siang tadi kamu sama atasan tampan rupawan itu jalan bareng. Makan siang sampai jam istirahat tumpah-tumpah."

"Lemes banget, ya. Minta disumpal kain pel itu bibir." Nada mencibir sebal. Mengabaikan panggilan Kala di ponselnya. 

Talia tertawa. "Bibir berpoles gincu harga selangit, enak aja mau dilecehkan kain pel," balasnya. Tidak tersinggung sama sekali dengan ucapan Nada yang sinisnya minta ampun. Dia dan Nada sudah biasa saling melempar kalimat sinis namun beberapa saat kemudian akan tertawa bersama. 

Tak jarang juga karena sudah terlalu lama berteman dan menjadi rekan kerja, keduanya sering meledek tentang hal-hal pribadi. 

"Gincu selangit?" Nada mendecap, lalu menggeleng pelan. "Percaya, deh," imbuhnya sembari mengibaskan tangan dan kembali melangkahkan kaki menuju lahan parkir. Karena nampaknya lelaki yang berikrar menjadi teman dan kini menjadi atasan barunya itu tidak akan bosan menghubungi dirinya. 

Talia mencekal lengan Nada, mencegah sang sahabat pergi. "Kamu belum jawab pertanyaanku."

"Pertanyaaan apa?" Nada menoleh sekilas ke arah Talia, lalu mengalihkan tatapan pada ponselnya yang kembali berdering. Dia mengerang kesal. Mengumpati Kala di dalam hati karena tidak mengerti posisinya. Dan bukankah siang tadi ia sudah mengatakan pada Kala secara jelas agar lelaki itu tidak sembarangan menghubungi dirinya. Lagi pula ini di luar jam kantor, urusan apalagi yang membuat lelaki itu gencar sekali menghubunngi dirinya. 

"Hubungan kamu sama GM tampan itu. Ya Tuhan, kemarin bilang nggak minat, giliran udah di depan mata ambil start duluan." Talia mendesis gemas. Kemudian mengeluh dan memasang wajah kecewa. 

Nada melirik Kala yang terlihat sedang mengedarkan tatapan tampak mencari-cari. Dia mundur dua langkah menyembunyikan diri, baru kemudian menatap Talia yang masih memasang wajah tak enak dipandang. Dia merasa memang tak perlu menyembunyikan perihal Kala dan dia. Lagipula, cepat atau lambat semua rekan kerjanya akan tahu. 

"Aku dan Kala berteman sejak kuliah dulu," lirih Nada dan balasan yang ia terima dari Talia membuat ia segera membungkam mulut perempuan itu. Seenak jidat berteriak ketika sekitarnya masih cukup ramai. 

Lihat selengkapnya