Nada terus menduga-duga, siapa gerangan orang yang meminta bertemu dengannya di jam kerja. Kala menjadi satu nama yang berputar di benaknya. Namun, lelaki itu lebih sering menghubunginya langsung daripada melalui resepsionis.
"Lelaki tampan, Mba. Tampilannya khas pengusaha kaya raya."
Mengingat perkataan Mega tadi, Nada sedikit merapikan rambut dan bajunya. Tak lupa berkaca lewat ponsel, melihat wajahnya dan memeriksa giginya yang siapa tahu ada kulit cabe nyelip. Karena siang tadi, ia makan ayam geprek sambal blacan. Dan beruntung tidak ada.
Kan tidak lucu bertemu pengusaha ketika ia bicara giginya dihiasi kulit cabe, nyempil yang terlalu mungil namun mengganggu pemandangan. Yah, siapa tahu ternyata laki-laki yang ingin bertemu dengannya ini tertarik padanya. Jika iya, Nada tidak akan pusing menjawab tanya dari keluarga dan saudaranya yang lain mengenai pasangan.
Namun, detik ketika akhirnya ia menginjakkan kaki di lobby dan menemukan laki-laki yang meminta bertemu dengannya, Nada merasa seolah oksigen tercerabut secara paksa dari rongga dadanya. Sesak sekali. Dia ingin berlari menghindar, menjauhi lelaki itu. Sayangnya, lututnya tak bisa digerakkan.
Hingga telaga cokelat terang milik laki-laki itu bertemu tatap dengan manik matanya, disertai sebuah senyuman hangat. Praktis, membuat Nada ingin meluruh saja di lantai. Susah payah ia menelan ludah dan menormalkan tarikan napasnya yang tersendat. Lelaki yang sempat menempati hatinya begitu lama. Dan berakhir menoreh duka dan sakit hati.
Lalu, mengapa setelah berminggu-minggu berlalu, lelaki itu kembali hadir dan menemui dirinya.
"Hai, Nad. Maaf tiba-tiba datang." Fabian mengambil langkah mendekat dengan kuluman senyum di bibir. Berkali lipat menambah ketampanan di wajah lelaki itu.
Kalau tahu pengusaha tampan kata Mega adalah Fabian, sudah pasti Nada memilih kabur, mengatakan pekerjaannya menggunung dan tidak bisa menemui siapa pun. Karena bertemu Fabian lagi --setelah Nada yakin jika hatinya lebih kuat, nyatanya hanya menjadi bualan belaka. Dia selalu lemah ditatap sehangat itu oleh Fabian.
"Kamu sebentar lagi pulang kerja, kan? Bisa kita ngobrol dulu."
Nada ingin menggelengkan kepala, menolak ajakan Fabian. Namun yang terjadi pada dirinya hanyalah bungkam.
"Kita ngobrol di sini aja, Nad. Mau, ya?" Fabian menatap penuh harap. Rasanya menyenangkan ketika akhirnya dia bisa bertemu tatap dengan Nada. Perempuan itu tampak baik, satu hal yang Fabian syukuri. Meski pancaran bola mata Nada saat menatapnya terkesan datar. Sudah tak ada lagi binar bahagia yang ia dapatkan seperti berbulan-bulan lalu ketika bertemu dengannya. Dan ia lah yang menghancurkan binar kebahagiaan itu.
"Aku nggak bisa, Bi." Nada menolak halus. Bersyukur di dalam hati karena suara yang keluar dari bibirnya tidak seperti tikus got kejepit pintu. Kecil mencicit dan bau.
Fabian menghela napas berat. Tahu sekali jika penolakan yang akan ia terima pertama kali dari Nada. "Sebentar aja, Nad. Aku rindu."
Satu detakan nyeri menghantam tanpa permisi tepat ke dada kiri Nada. Ketika kalimat singkat itu terlontar lirih dari bibir Fabian. Dia berusaha untuk tidak membuat bola matanya berkabut yang kemudian melahirkan bulir bening.
"Ya, Nad ... please. Sebentar aja."
Tatapan memohon itu membuat benteng pertahanan yang Nada bangun runtuh perlahan. Sehingga yang menjadi jawabannya adalah anggukan pelan. Dan detik berikutnya, senyuman manis tersungging di bibir Fabian.
Di belakang punggung yang tegap itu, Nada berusaha untuk menormalkan detak jantungnya yang memburu. Dia meraba dada kirinya dan berbisik lirih. "Hati ..., tolong kali ini berkompromi. Jangan membuatku malu dengan berdetak sekeras ini."
Demi Tuhan, kisahnya dan Fabian sudah tertinggal sejak berbulan lalu. Tapi kenapa hatinya berdetak serasa mereka masih bersama.