Nada menatap punggung tegap Fabian yang menjauh dengan tatapan nanar dan senyum getir yang sampai ke hatinya. Fabian mengatakan jika lelaki itu tidak akan menyerah untuk memperjuangkan Nada. Meski jawaban dari Nada tetaplah satu. Tidak menginginkan untuk kembali bersama.
"Aku sangat mencintaimu, Nad. Perasaanku padamu akan tetap ada."
Bergeming. Nada membiarkan nyeri merambat dadanya, mengiringi genggaman tangannya di atas meja yang kian mengerat. Sebelum akhirnya ia menghela napas kasar dan menyandarkan punggung di kursi. Menikmati kesendiriannya yang terasa menyesakkan. Dia tidak mengharapkan Fabian untuk kembali menemuinya. Karena seberapa besar pun perasaan yang tertinggal di hatinya untuk Fabian, Nada tidak akan pernah ingin kembali.
"Kamu mau pulang nggak, Nad?"
Nada menoleh perlahan, menatap sosok yang berdiri di sampingnya dengan tatapan tanpa ekspresi. Tidak ingin menjawab pertanyaan yang lelaki itu lontarkan.
"Tadi itu Bian?" Kala bertanya lagi. Dia mengambil duduk di depan Nada dan menatap perempuan itu yang kini menunduk. Seolah pemandangan di bawah kakinya lebih mempesona dibanding dirinya. Memang kapan Kala dipandang oleh Nada dengan tatapan penuh keterpesonaan seperti cara banyak perempuan memandang dirinya. Tidak pernah.
Bahkan ketika Kala tampil sebagai atasan Nada dengan pesona luar biasa menawan dan berwibawa. Nada tetap tidak mengacuhkannya. Wajar sih, mantan pacar perempuan itu adalah Fabian Manggala. Keluarga lelaki itu memiliki perusahaan di bidang textil dan juga rumah sakit.
"Dia ngapain ketemu kamu tadi? Ngajak balikan?" Kala menaikkan sebelah alis. Tidak senang dengan kemungkinan yang mampir di benaknya.
Tidak senang?
Kala mengerjap. Kenapa ia harus tidak senang jika Nada dan mantannya balikan. Mereka balikan atau tidak, itu bukan urusannya, bukan?
Tidak. Tidak. Itu menjadi urusannya. Nada adalah temannya. Jika mereka balikan dan nantinya Nada akan disakiti lagi. Bukankah itu menjadi tanggung jawabnya? Harusnya sebagai teman ia bisa menjaga Nada dengan baik.
"Jangan balikan, Nad. Kalau ujungnya cuma bikin kamu sakit hati." Kala berkata mantap. Dia tidak segan untuk berurusan dengan Fabian jika lelaki itu atau keluarga lelaki itu membuat masalah dengan Nada.
Tersenyum getir, Nada yang sedari tadi menunduk, mengangkat kepalanya perlahan dengan sebelumnya mengusap embun di sudut matanya dengan gerakan kasar.
"Thanks sarannya, Ka."
Kala tersenyum dengan anggukan pelan. Dan satu desahan lega lolos dari bibirnya. Dia merasa senang karena kemungkinan besar Nada mengikuti kata-katanya. Itu artinya, Nada tidak akan balikan dengan Fabian. "Bukan hal besar, Nad. Nggak perlu berterima kasih."
Nada memundurkan duduknya dan bangkit berdiri. "Aku duluan, Ka," katanya sembari menggenggam kantong plastik berisi bunga krisan pemberian Fabian. Tanpa menunggu balasan dari Kala ia segera beranjak pergi.
Kala sedikit terkejut dengan sikap dingin Nada. Dia lebih dulu menelan ludah, baru kemudian mengejar Nada. "Nad, temani aku ke pembukaan kafe baru punya teman, yuk."
Nada menghentikan langkah seketika. Ia menoleh ke arah Kala dan mengumpulkan kalimat yang sekiranya tepat untuk membungkam mulut ceriwis Kala, yang tidak akan berhenti memburunya kalau belum dituruti kemauannya. "Aku ingin sendiri, Ka. Please, kali ini jangan paksa aku."
Sedikit keterlaluan, kah?
Nada harap tidak.
Dia segera mengayun langkahnya menjauh dan menghilang di bilik toilet. Di depan wastafel, ia menatap wajah muram yang sedari tadi coba ia sembunyikan.