Senja di ufuk barat tampak memanjakan mata, warna jingganya membuat para pengagum senja pasti akan mengulas senyum. Menikmatinya bersama secangkir kopi dan puisi. Dan mungkin diimbuhi dengan melodi sendu menyayat hati.
Ah, untuk deskripsi yang terakhir, dikhususkan untuk seorang perempuan yang sedari beberapa menit lalu bermain bersama gerombolan ikan di kolam ukuran 1x1,5 meter. Tepat menempel di dinding pembatas dengan rumah tetangga. Gemerisik airnya membuat si perempuan merasa lebih tenang meski hanya sedikit.
Hela napas panjang lolos dari sela bibir Nada. Bibir yang sedari tadi terkatup membentuk garis lurus, kini berubah cemberut, ketika selintas pikirannya mengarah pada sosok general manager tampan yang semingguan ini coba ia hindari.
Sejak kejadian di parkiran, Nada memang konsisten dengan tekadnya untuk menjaga jarak dengan Kala. Baginya, tidak berhubungan dekat dengan Kala justru menyenangkan. Dia tidak perlu membuntuti lelaki itu, menuruti maunya yang seringkali membuat Nada kewalahan.
"Riskia anak blok C yang baru lulus SMA, nikah minggu depan, loh."
Untuk satu kalimat menggebu yang tertangkap indera pendengarnya, mau tak mau Nada mendongakkan kepala. Menoleh ke arah pagar depan dan menemukan sekumpulan ibu-ibu di sana, termasuk ibunya sendiri.
"Dilamar PNS lagi. Katanya ganteng dan penyayang."
"Nggak cuma Riskia, Bu. Tapi Siska, anaknya Pak Rt yang masih kuliah, katanya juga udah dilamar. Lebaran ini mau nikah. Calonnya jadi manager di mini market."
Obrolan berulang, yang selalu memuakkan untuk Nada dengar. Namun, dia sudah kepalang basah, kalau masuk rumah nanti ibu-ibu tetangganya itu akan melihat dia yang bersembunyi di balik pot-pot besar tanaman sang ayah yang berjejer didekat kolam.
"Nada kapan nikah, Bu? Nggak jadi ya sama laki-laki yang sering datang ke sini pakai mobil merah."
Nada melirik ibunya, menunggu reaksi apa yang akan ibunya berikan. Harusnya, ibunya pamit saja untuk masuk rumah, namun yang Nada dapatkan, sang ibu justru menggeleng pelan.
"Yah, nggak jadi punya mantu berada."
Kali ini, Nada berdecih pelan. Dia justru beruntung tidak mendapat suami dari kalangan konglomerat. Percuma saja kalau harga dirinya tidak dianggap sedikit pun.
Lelaki bermobil merah yang dimaksud adalah Fabian. Lelaki itu memang beberapa kali ke rumahnya, mengantar jemput atau bahkan sengaja mampir untuk mengobrol ringan dengan ayah dan ibunya.
Melihat interaksi Fabian dengan orang tuanya yang tampak akrab, membuat Nada sendiri merasa senang. Dan berharap teramat besar jika lelaki itu yang memang Tuhan takdirkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Meski, ia harus menelan pil kepahitan.
"Bukan orang kaya nggak apa-apa, Bu. Yang penting, Nada lekas menikah. Nggak baik usia sudah cukup namun pernikahan ditunda-tunda."
Kalau bisa membalas, Nada ingin berteriak di depan ibu-ibu itu. Namun, yang keluar dari bibirnya hanyalah geraman dan tatapan memicing melihat gerombolan ibu-ibu itu membubarkan diri. Nada segera melempar pakan ikan, kembali menatap kolam ketika ibunya menggeser gerbang dan masuk.
"Loh, kamu di sini, Nak?" Ambar -ibu Nada tampak sedikit terkejut mendapati kehadiran putrinya.
"Ngasih makan ikan, Bu." Nada tersenyum, bangkit berdiri dan menunjukkan kantong plastik berisi pakan ikan.
"Kamu dengerin yang ibu-ibu komplek bilang tadi."
"Denger." Nada mengedik lemah. Mengayun langkah mendekati ibunya. "Tapi nggak masalah, kok. Yang penting Ibu nggak pusing mikirin."
Setelah mengatakan itu, Nada mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan apa yang ibunya bawa. Dan ia berseru senang ketika thai tea yang ibunya bawa diberikan padanya.
Mengiringi langkah sang ibu memasuki rumah, Nada menggoyang-goyang gelas thai tea yang kantong kereseknya sudah dibuang ke tempat sampah depan.
"Bu, kita pergi ke Mall, yuk. Biasanya akhir bulan banyak diskonan."