Senada Lembayung, perempuan cantik berpotongan rambut sebahu yang kali ini dihiasi dengan jepit pita dengan butiran pearl, tampak sedang menggigit bolpoin dengan tatapan tertuju pada layar komputer yang menyala di depannya. Menampilkan jurnal laporan mingguan hotel.
Nada menghela napas, memundurkan tubuh untuk mempertemukan punggung pada sandaran kursi di belakangnya.
Dalam diamnya, tiba-tiba Nada dikejutkan akan tepukan di bahu kanannya. Sontak ia menengadah dan menemukan sosok lelaki jangkung dengan wajah rupawan yang menampilkan senyuman khasnya yang amat menggoda.
"Masih banyak kerjaan, Nad?" Kala bertanya sembari tangannya terulur untuk mengambil post it di meja Nada. Lalu menulis beberapa kata di sana.
"Banyak banget." Nada menatap Kala yang tampak fokus menulis entah apa. "Aku sibuk. Kamu makan sendiri aja." Dia menjawab ajakan Kala yang ditulis di post it.
"Banyak seberapa, sih? Sini aku bantuin." Kala melirik layar komputer Nada dengan mata memicing.
"Ka, kita makan aja, deh." Nada mendorong duduknya semakin mundur, baru setelahnya bangkit berdiri.
"Kenapa? Aku udah mau bantuin, loh."
"Nggak ada. Aku bisa selesaikan sendiri." Nada menggeleng, menarik tangan Kala untuk keluar ruangan. Lupa kalau perbuatannya menggandeng tangan Kala justru membuat lelaki di belakang punggungnya mengukir senyuman. Dan perempuan itu pun lupa jika di sekitarnya masih ada beberapa rekan kerja yang menatap ingin tahu.
Dugaan-dugaan mereka tentang general manager baru yang memiliki affair dengan seorang Senada Lembayung semakin mencuat ke permukaan. Jika perempuan merasa iri pada Nada yang begitu mudah menggaet lelaki seperti Kala. Maka para lelaki merasa iri ingin berada di posisi Kala yang menjadi pujaan banyak perempuan.
"Kamu yakin ingin gandeng tangan aku terus, Nad."
Nada yang mendengar gumaman Kala sontak menoleh dan menyadari jari mereka yang saling terkait. Secepat kilat, Nada melepas genggamannya, namun kali ini justru Kala yang menyambar tak ingin lepas.
"Begini lebih baik, biar kamu nggak hilang," kelakar Kala sembari terus menggenggam jemari Nada. Menjalarkan hangat dari telapak tangannya ke tangan Nada.
Di lain sisi, Nada justru termangu, hangat tangan Kala yang ia rasakan sukses membuat detak jantungnya berdebar tak karuan. Tidak bisa ia pungkiri sentuhan kecil dari Kala seolah mengantarkan sengatan di jantungnya.
"Hei, Nad. Kamu ini kenapa?"
Nada bertanya di dalam hati. Sibuk dengan pemikirannya sendiri hingga tak lagi mempedulikan ke mana Kala akan membawanya untuk makan siang.
"Ini salah, Nad. Nggak seharusnya kamu berdebar karena Kala."
Lebih dari sadar, Nada sangat paham untuk itu. Membiarkan debaran menyenangkan itu menyelubungi dadanya adalah hal yang salah. Bukan karena Nada tidak ingin merasakan cinta lain. Tapi hei, ini Kala. Yang semasa kuliah bahkan hingga saat ini menjadi idaman semua perempuan. Nada hanyalah perempuan terlalu biasa yang bahkan sudah ditolak sebelum ia beranjak untuk berjuang.
"Awas lubang."
Seruan tiba-tiba itu membuat Nada mengerjap dan memeluk lengan Kala dengan satu tangan lain yang bebas dari genggaman lelaki itu. "Di mana?" tanyanya panik sembari bergerak mundur dan menundukkan kepala mencari-cari lubang yang Kala serukan tadi. Namun kemudian yang menyapa gendang telinganya adalah tawa geli Kala yang terdengar amat menyebalkan.
Nada berdecap. Menegakkan kepala dan memberi tatapan sebal pada Kala yang masih tertawa. Dia dibodohi, tentu saja. Dan Kala tampak puas sekali. Tawanya yang renyah seolah tidak memiliki beban dunia sedikit pun, membuat Nada malu sendiri. Mereka sedang berada di trotoar dan tentu bukan hanya mereka yang memakai jalanan itu.
"Puas?" Nada mengangkat dagunya setelah melepas genggamannya di lengan Kala. Dia menoleh kanan kiri dan begitu ingin membungkam bibir Kala dengan sepatu. Lelaki itu seolah tidak sadar jika perbuatannya berhasil membuat beberapa orang memberi atensi lebih padanya.