Langit malam ini tampak begitu memukau, dihiasi bulan purnama dan bintang-bintang bertebaran juga semilir angin yang membelai lembut. Namun, semua hal itu tidak membuat seorang Senada Lembayung mengulas senyuman, meski tipis. Bibir ranumnya justru terus saja cemberut.
Tidak pantas sama sekali dipadukan dengan apa yang membalut tubuhnya. Gaun manis warna nude dengan highheels 7 cm, dan rambut tergerai yang dihiasi jepit rambut berhias mutiara dan bunga.
"Jangan cemberut gitu dong, Nad." Kala menegur ketika akhirnya dia dan Nada keluar mobil dan berdiri di sebuah restoran. Sama seperti Nada yang tampil apik, Kala pun sama. Setelan kemeja dan rambut yang disisir terlalu rapi. "Kamu pasang wajah begitu, keliatan banget kalau terpaksa."
Nada mendengkus. "Emang terpaksa."
Kala nyengir, menggumam maaf. Lalu tanpa izin meraih jemari tangan Nada dan menggenggamnya. "Biar kamu nggak kabur."
Hanya pasrah yang bisa Nada lakukan. Tubuhnya sungguh tidak sejalan dengan yang hatinya bisikan. Inginnya kabur, kok malah seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Nurut minta ampun.
"Ayolah, Nad. Besok kalau kamu ada masalah aku bantuin." Kala berbisik, sembari terus mengayun langkah memasuki restoran. Tampak begitu santai, berbeda sekali dengan perempuan yang jemarinya ia genggam.
Kalau Nada berkeras menolak, harusnya ia lakukan sebelum menginjakkan kaki di restoran. Tapi apa? Sepanjang siang tadi penolakannya hanya angin lalu bagi Kala. Dan kini, ia harus terjebak dalam permainan yang Kala buat.
Demi Tuhan, Nada sudah bertekad dan berusaha menjauhi Kala, namun kenapa setiap kali lelaki itu mendekat dan menariknya, penolakannya tak pernah memiliki daya.
"Hanya pura-pura jadi pacar, Nad. Buat malam ini. Aku nggak mau jadi bahan perjodohan mama."
"Hanya malam ini." Nada mengulang. Seolah menegaskan. Dia mendecap sebal, tidak habis pikir, mengapa ia mau-mau saja membantu Kala untuk berpura-pura menjadi pacar. Agar lelaki itu tidak jadi dijodohkan dengan perempuan yang tidak Kala kenal.
Kalau Kala punya pacar, otomatis niatan ibu lelaki itu akan batal. Sayangnya tidak semudah yang Nada pikirkan. Dia menghentikan langkah beberapa meter dari meja yang diisi seorang perempuan paruh baya dengan wajah cantik yang ia kenali, sedang melambaikan tangan ke arahnya.
Itu tante Sinta. Nada mengaduh, kenapa bisa sekebetulan ini. Malam ini Sinta pun mengajak makan malam bersama, hanya saja, Nada tolak dengan halus karena merasa bahwa mereka belum cukup dekat.
Dan lagipula ia sudah tahu siapa Sinta yang sesungguhnya. Istri pemilik hotel tempatnya bekerja. Fakta itu Nada dapatkan beberapa hari lalu saat Sinta mendatangi hotel mengajaknya makan siang bersama. Mona yang memberitahukan status Sinta yang sesungguhnya. Dan makan malam bersama keluarga perempuan itu tentu membuat ia berpikir berkali lipat.
"Ayo, Nad. Mama udah panggil, tuh." Kala menarik Nada untuk ikut.
"Mama?" Bola mata Nada hampir melompat keluar. Napasnya tiba-tiba memberat. Lidahnya kelu ketika langkah mereka terayun semakin dekat menuju Sinta yang amat bahagia menyambut.
Ketika Kala melepas genggaman tangannya untuk membalas pelukan Sinta, Nada harus bersusah payah untuk mempertahankan berdirinya agar tetap tegak. Dia ingin menghilang saja atau balik badan untuk berlari menjauh. Sayangnya, nalarnya bekerja dengan benar, dia tidak ingin dipecat karena kabur di depan pemilik hotel tempatnya bekerja.
"Mama, kenalin ini Nada. Pacar aku." Kala mengajak Nada maju, memperkenalkan Nada di depan orang tuanya.
Sinta mengulum senyum simpul. "Pacar?"
Kala mengangguk mantap. "Iya, Ma. Nada pacar aku. Jadi Mama nggak perlu repot-repot cari calon istri buat aku," ungkapnya dengan cengiran.
"Mama kenal sama Nada." Sinta bersuara, terlalu santai namun cukup membuat putranya membulatkan mata. "Halo, sayang. Ternyata ada janji sama Kala, makanya nolak ajakan Tante buat makan malam."