Nada bergelung di balik selimut, memeluk tubuhnya sendiri. Hari sudah pagi, namun ia enggan untuk beranjak bangun. Ingin cuti saja, meski seharian kemarin ia sudah libur. Rasanya tidak cukup hanya satu hari libur di hari minggu.
Hari kemarin ia habiskan dengan menonton serial drama kolosal yang lebih banyak bermain dengan pedang, dan belum ia selesaikan.
Dia malas berangkat kerja karena kemungkinan bertemu dengan Kala amatlah besar. Nada menutup kepalanya dengan selimut dan tak sengaja jemarinya menyentuh bibirnya. Seketika, ingatannya terlempar pada malam itu. Di mana Kala mencium bibirnya dan bergerak lembut, memainkannya seperti mengunyah jeli.
Nada yang tersadar dengan apa yang Kala lakukan saat itu, segera mendorong tubuh lelaki itu dengan gerakan kasar dan tak lupa memberi sebuah tamparan sebagai hadiah. Baru setelahnya ia melarikan diri. Menaiki ojek konvensional untuk mengantarnya pulang.
Kala sialan. Berani sekali lelaki itu mencuri ciuman darinya. Bertahun-tahun pacaran dengan Fabian saja, Nada tidak semurah hati itu membiarkan Fabian mengecap bibirnya. Nada selalu mengancam lebih dulu, sehingga Fabian cukup puas hanya memberi kecupan di pipi atau pun kening.
Dan ini Kala, pacar bukan, suami apalagi. Seenak jidat menginvasi bibirnya. Di tempat umum, pula. Kalau ada yang mengenali mereka, mau ditaruh mana wajahnya. Pantat? Ish. Nada merasa dirinya begitu murahan. Dan pemikiran itu berhasil membuat wajah sendu Nada menjadi amat murung.
Mungkin benar kata tante Novie, kalau ia memang murahan. Sehingga sangat wajar jika dirinya memang tidak pantas untuk bersanding dengan Fabian dan membangun mahligai rumah tangga.
Dan kenapa juga rasa bibir Kala tertinggal begitu nyata meski sudah berlalu sehari. Apa perlu Nada makan sambal yang banyak, agar bibirnya hanya merasakan panas.
Ketika Nada sudah akan kembali memejamkan mata, ketukan di pintu membuatnya kembali terjaga. Disusul suara ibunya yang mengabarkan jika ada seseorang yang mencari dirinya. Nada menolak pada awalnya, namun ibunya jelas lebih gigih dalam membujuknya keluar.
Menyugar rambutnya dengan jemari dan tanpa repot memperhatikan penampilannya, Nada segera mengayun langkah ke ruang tamu. Dia hanya mengenakan celana piama panjang dengan atasan kaus oblong kebesaran. Penampilan yang berbanding ratusan derajat dengan apa yang tamunya kenakan.
"Ngapain ke sini?" tanya Nada tanpa basa-basi. Intonasi suaranya jelas tidak bersahabat. Karena ia yakin benar jika malam itu ketika ia melarikan diri dan Kala mengejarnya, Nada berteriak untuk jangan menemuinya lagi.
"Jutek banget, sih. Mana belum mandi." Adnan -ayah Nada bangkit dari duduknya dengan cangkir di tangan. Lelaki paruh baya itu sudah lengkap dengan seragam dinasnya.
Nada mengedikkan bahu, membiarkan ayahnya berlalu melewatinya menuju dapur. "Aku sudah bilang sama Talia, hari ini ambil cuti."
Kala yang duduk tidak nyaman di sofa ruang tamu, hanya mampu menatap Nada dengan satu kengerian. Kehadirannya jelas tidak membawa suasana baik untuk perempuan itu. "Kenapa cuti? Kamu sakit?" Dan Kala menyesali ucapannya sendiri.
Kenapa dari puluhan tanya yang terkumpul di kepalanya, justru kalimat itu yang ia lontarkan.
Nada mendengkus, menyandarkan punggung di dinding belakangnya. "Kupikir kamu datang ke sini untuk minta maaf."
"Minta maaf untuk?"
"Pura-pura bodoh." Nada memutar bola matanya. "Sana deh pergi kerja. Daripada ngurusi karyawan cuti."
Kala sudah memperkirakan itu, maka dengan besar hati, dia bangkit berdiri, sedikit melongok ke area rumah bagian belakang sebelum kemudian menawarkan satu upaya damai. "Kita ngobrol di luar, yuk. Bentar aja."
Nada menyingkir, menjauhkan tubuhnya dan membuat Kala tidak berhasil meraih lengannya. Dan berakhir membuat lelaki itu mengeluh, melempar tatapan memohon. "Please, Nad," pelas Kala.
Butuh beberapa waktu bagi Nada untuk berpikir dan menganggukkan kepala. Bersikap keras pun tidak akan membuat Kala menyerah dengan mudah. Justru bisa membuat ia mendapat masalah.
"Jadi mau ngomong apa? Kenapa diam?" Nada menaikkan sebelah alis. Setelah menunggu beberapa saat namun Kala tak juga membuka suara. Lelaki itu lebih suka memperhatikan ikan-ikan di kolam yang saling berkejaran. "Kalau nggak ada yang dibicarain, kamu pergi aja. Aku sibuk."
Secepat Nada mengayun langkah untuk kembali masuk ke rumah, secepat itu pula Kala menyambar tangan Nada. Menahan perempuan itu untuk tetap berdiri didekatnya. Berhadapan dengannya. "Kalau kamu minta aku buat minta maaf karena ciuman itu. Aku nggak mau. Itu bukan kesalahan."
Nada mendelik. "Bukan kesalahan?" Entah kenapa, ia merasa semakin sebal dengan Kala. Lelaki di hadapannya ini sungguh membuat ia berulang kali geleng kepala dan mengelus dada.