Sebuah pesta Pasu-pasu Raja telah selesai dilaksanakan ( Pernikahan tanpa adat hanya pemberkatan)
Tidak ada keluarga dari pihak mempelai wanita.
Kania stevani atau yang dipanggil Vani itu, baru saja memasuki kamar pengantin setelah pernikahan sederhana mereka selesai di laksanakan, hanya di hadiri beberapa orang saudara dan tetangga.
“Tinggallah di sini besok aku akan kembali ke Jakarta untuk bekerja lagi,” ujar Brayen Sinaga menatap perut Vani yang sudah mulai membuncit.
“Abang kenapa langsung pulang?”
“Maksud kamu apa?” Ia balik bertanya menatap istrinya dengan tatapan jijik.
“Maksudku, temani aku bareng satu hari saja, aku belum tahu tentang semua kampung abang.”
“Kamu tidak menganggap sebagai suami kau’ kan?” Tanya Brayen.
“Ya, abang suamiku.”
“He … kau dengarkan aku ya, aku ini hanya di suruh Pak Sudung untuk menikahi kau, tidak memintaku jadi suami sungguhan.”
“Kalau sudah menikah berarti sudah pasangan suami istri, Bang,” balasnya
lagi.
Wanita yang dipanggil Vani itu hanya menatap lelaki di depannya dengan tatapan sedih.
“Aku menikahi kau agar anak yang kamu kandung itu ada bapaknya, supaya dia tidak jadi anak haram. Dia bukan anakku, ngapain aku harus bertanggung jawab,” balas Brayen dengan acuh.
Vani diam, ia sadar lelaki yang berkata bersedia menikahinya ternyata hanya demi uang, bukan karena peduli padanya dan anaknya.
“Tapi abang mau menikah denganku.”
“Ya, aku menikahimu tapi bukan berarti memberimu nafkah batin, lagian macam mana pula kau meminta itu pada lelaki asing sepertiku, aku saja tidak pernah menyentuhmu, sadar aku sikit, cantik-cantik tapi tidak bisa jaga diri buat apa?”
“Aku sudah menantu kan di rumah, ini.”
“Ya, kamu menantu di rumah ini dan aku akan tetap suami tetapi itu hanyalah sebatas dalam kertas, aku tidak mungkin jadi bapak untuk anakmu, tapi kamu bisa pakai margaku untuk anakmu, walau itu bukanlah benihku,”ujar Brayen.
Itu artinya kelak jika anak yang di kandung Vani lahir, ia akan menggunakan marga Sinaga.
Semua itu didengar ibu Brayen dari balik pintu, akhirnya ia paham menantu yang dibawa anaknya ke rumahnya bukanlah wanita yang mengandung darah daging anaknya, bahkan menolak mereka.
Sedih, kecewa itulah yang terbesit di wajah Ibu Lisda, wanita sepuh berusia tujuh puluh tahun itu, selama ini ia hidup dengan putrinya yang idiot di satu rumah papan yang sudah mulai reot di Desa Nahor di Sabulan.
“Kenapa kalian membuangku di sini,” ujar Lisa dengan suara bergetar.