Identitas Tersembunyi Sang Istri

Betaria Sonata L raja
Chapter #2

Ditinggalkan Suami #2

 Kania tidak mau tinggal di rumah ibu mertuanya yang miskin, rumah dan semua yang ada di sekelilingnya membuatnya muak.

 Tidak ada televisi, bakan lampu penerangan juga hanya menggunakan lampu pijar yang sepuluh wat, jadi sekeliling rumah kayu terlihat remang dan sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar riuh di samping rumah Brayen.

 

Dalam rumah itu ada dua kamar, kamar pertama ditempati Kania dan Brayen yang dilengkapi tempat tidur lama. Sebuah dipan yang beralaskan tikar bayon dan sebuah kelambu, dipan tua itu sudah mulai rusak, bahkan sudah mulai bunyi jika tidur di atasnya.Saat malam tiba ia sengaja tidak tidur sebelum Brayen pulang, ia masih bersikeras untuk ikut pulang ke Jakarta.

 

“Tolong Bang, bawa aku pulang, aku janji tidak akan menemui keluargaku,” ujar Kania, ia memohon suaminya agar membawanya ikut bersamanya.

 

“Kau gila ya! Aku ini punya pacar, tugasku hanya menikahimu”

 

“Kalau kamu tidak mau membawaku pergi, berikan uang itu padaku agar aku pergi sendiri.”

 

“Kau gila ya, pak Sudung memberi uang untukku bukan untukmu, keluargamu membayar ku menikahi agar anakmu lahir punya akta lahir dan punya bapak.”

 

“Kalian tidak boleh memperlakukan seperti ini.”

 

“Makanya, jangan bunting kalau belum menikah,” ujarnya lagi, mereka berantem di dalam kamar, mereka tidak tahu kalau pertengkaran mereka sudah jadi tontonan para tetangga yang tukang gosip.

 

Tidak lama kemudian Inang Lisda yang melihat beberapa ibu-ibu mengintip dibawah kamar anaknya, ia membawa air satu ember, ia membuka kamar mereka dan membuka jendela lalu menyiramkan air satu ember.

 

Burrr ….!

 

Mereka semua berlarian.

 

“Aha inong?”

 

(Apa mama?)

 

“Akka tukang kuping di siram saja pakai air.”

 

Sadar rahasia mereka sudah terbongkar membuat Brayen ingin secepatnya menghilang dari kampungnya, ia sudah capek mendengar penghinaan dan ledekan dari semua orang di kampungnya dari ia kecil, membuatnya enggan untuk kembali ke kampungnya, ia tidak pernah pulang ke kampung, ia malu.

 

Kakak perempuannya yang idiot dan bapaknya dari dulu tukang mabuk, bahkan bapaknya meninggal karena mabuk.

 

Maka di kampung itu ia dapat julukan anakni Partenggen, atau anak tukang mabuk, di tambah kakak perempuannya yang idiot, yang selalu jadi bahan bulian anak-anak kampungnya, dan sekarang ia menikah dengan wanita yang bunting, ia tahu kalau seluruh kampungnya dari atas sampai bawah pasti sudah menggosipkan dirinya dan keluarganya.

 

“Sial, semua orang mendengarnya. Kamu keluar dari sini!” ucapnya kesal.

 

“Aku tidak mau sebelum kamu mengajakku ikut bersamamu.”

 

“Dasar sinting! Itu tidak akan terjadi, mana mungkin aku mengajak wanita bunting bersamaku, apa nanti kata pacarku sama teman-temanku?”

 

“Kamu suami yang tidak berguna, tidak bertanggung jawab,” ujar Kania, ia memaki-maki Brayen suaminya.

 

Paaak …!

 

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, membuatnya seketika terdiam, pipinya terasa panas mendapat tamparan tersebut.

 

“Kamu jangan bicara macam-macam ya, kamu harusnya berterimakasih padaku karena aku mau menikahimu.”

 

“Kamu menikahiku lalu meninggalkanku lalu apa artinya?”

 

“Dengar! keluargamu sendiri membuangmu, bahkan ibu tirimu memintaku melenyapkanmu, tetapi aku punya hati, makanya aku membawamu ke rumah kami, itu aku lakukan karena aku mengingat kebaikan almarhum nantulang.”

 

“Jangan bawa-bawa almarhum ibuku, kamu orang jahat tidak pantas melakukan itu.”

 

“Ya, ibumu pasti menangis di surga sana melihat boru kesayangannya bunting, dan kekasihnya tidak mau bertanggung jawab malah kabur ke luar negeri.”

 

Lihat selengkapnya