Kania menantu yang sangat baik, di saat Brayen suaminya tidak memberi perhatian untuk ibu dan kakak perempuan, tetapi Kania memberikan perhatian dan kasih sayang melebihi seorang anak kandung. Bahkan ia menganggap Bu Lisda sebagai ibu.
Bagi Kania, kedua wanita itu bagai malaikat dalam hidupnya, saat ia dulu terpuruk dibuang sama keluarganya, Bu Lisda menerimanya dengan senang hati sebagai menantu, ia menerima kata nasihat dari ibu mertuanya yang selalu menguatkan Ti Kania. Saat di kampung dulu, jika ada tetangga yang menjelekkan menantunya ia akan balik memarahi orang tersebut. Tetapi perhatian yang baik yang dilakukan Bu Lisda memberikan hasil yang baik juga untuknya.
Kania masih ingat kata-kata penguat dari Ibu mertuanya untuk Kania. Dia bilang seperti ini ;
“Apapun omongan orang, tidak usah kau pedulikan, kamu akan tetap jadi menantuku selagi kamu tetap memegang tanganku aku juga akan memeluk dan menjagamu sebagai menantu,” ucap ibu mertuanya saat ia sedih.
Alasan itu jugalah, membuat Kania bisa bertahan hingga saat itu.
“Eaa maan ita.”
(Eda makan kita) ujar, Nur ipar Kania, wanita malang itu gaya bicaranya memang gagu. Ia memiliki kekurangan dalam berpikir dan bicara, menurut cerita ibu Lisda. Nur jatuh dari gendongan saat masih umur tujuh bulan, bagian kepalanya menabrak batu dan tempurung kepala bagiannya juga retak, ia sempat koma beberapa bulan dan wanita malang itu tumbuh tidak sempurna.
Tetapi dibalik semua itu, Nur memiliki kelebihan, dia pintar melukis bahkan lukisan sudah masuk galeri, Kania dan Jonas yang menawarkan hasil karya Nur, jadi wanita itu seorang pelukis berbakat, setelah Kania membawa ipar dan ibu mertuanya ke Jakarta, ia menyediakan satu ruangan khusus untuk kakak iparnya melukis, ia menghabiskan waktu sehari-harinya di ruangan itu untuk menciptakan hasil seni yang luar biasa dan ia bisa menghasilkan uang dari lukisannya. Jadi, di balik kekurangannya tersebut, ia punya talenta luar biasa.
“Eda sudah makan?”
“Uda,” jawanya dengan bahasa khasnya, kalau orang lain tidak mengerti apa yang dikatakan Nur, tetapi, mereka bertiga sudah mengerti bahasa dari Nur karena sudah terbiasa.
Setelah selesai makan, Kania duduk di samping ibu mertuanya yang sedang serius menonton sinetron ikan terbang ‘Ku Menangis’
“Mati Kau! Jahat bangat sih kamu sama ibu mertuamu, masa ibu mertuamu kau jadikan pembantu,” ucapnya memaki adegan sinetron yang ia tonton, ia ikut emosi saat menonton jalan cerita sinetron tersebut.
'Hadeh ... tontonan tidak bermutu' ucap Kania dalam hati.
“Jahat!” Nur ikut memaki.
Kania hanya tersenyum lucu melihat mereka berdua, Bu Lisda dan Nur tidak pernah ketinggalan menonton sinetron ‘Ku Menangis’ itu tiap hari.
Walau Kania dan Jonas tidak suka menonton sinetron, tetapi ia tidak melarang ibu mertua dan iparnya untuk menonton, justru ia Mengganti televisinya dengan ukuran yang lebih besar agar gambar dan suaranya lebih jelas saat ibu mertuanya sedang menonton.
“Aku duluan tidur Inang, aku sudah mengantuk,” ucap Kania ia berdiri.
“Baiklah, apa kamu sudah minum air jahe yang direbus tadi?”
“Sudah Inang.”
“Baiklah, sudah sana tidur duluan aku bentar lagi tidur, aku mau lihat apa hukuman menantu jahat ini dulu," ujar ibu mertuanya.
Ia meminta Rati untuk mengecilkan volume suara televisi, saat Kania dan Jonas naik ke lantai atas untuk tidur di kamar masing-masing.