Identitas Tersembunyi Sang Istri

Betaria Sonata L raja
Chapter #29

Awalnya Ingin Marah #29


 

Kita tidak bisa memilih , kita akan hidup di mana dan lahir dari Ibu yang mana, tetapi Tuhan menciptakan dua takdir untuk manusia, takdir yang bawaan dan takdir pilihan kita, yang akan kita jalani.

 

Brayen tidak ingin lahir dari ibu yang miskin, tetapi itulah hidup yang diberitakan Sang Pencipta,  mendapat hinaan , bully, itulah yang membuat Brayen sangat membenci keluarganya, terutama kakak perempuannya yang idiot.

 

Saat mereka masih kecil, Brayen selalu meneriaki sang kakak menyebut wanita itu pembawa sial  bagi hidupnya, meneriaki wanita itu untuk mati, karena Nurlah ia selalu diledek dan dihina sama teman-temannya. Brayen kecil tidak punya teman, semua menjauhi menyebutnya  adik orang gila.

 

Tetapi setiap kali ia memukul dan meminta Nur untuk mati, wanita itu tidak pernah marah .

 

Pulang dari rumah bapa udanya, Brayen menyetir ke sebuah taman, ia duduk di sana sendirian, hinaan keluarganya benar-benar melukai harga diri dan hatinya, ia mengerjap-ngerjapkan mata  agar  bendungan air yang tertahan sedari tadi tidak tumpah, ia mengangkat kepala ke atas .

 

Ingatan masa kecil itu kembali melintas di pikirannya, di mana saat  kecil  di suatu hari, ia pulang sekolah, dan saat itu turun hujan, Brayen  basah kuyup, dari kejauhan Nur datang menjemput Brayen,  ia membawa daun pisang sebagai pengganti payung, bukan bukannya merasa senang, ia malah memukuli Nur pakai kayu dan meninggalkan di jalan, saat tiba di rumah, Bu Lisda dan  bapak Brayen tanya luka-luka di kaki Nur,  gadis idiot itu mengisyaratkan dengan bahasanya kalau ia jatuh, padahal wanita malang itu tidak pernah berbohong. Namun, demi melindungi Brayen dari  bapak mereka, ia berbohong, bapak Brayen lelaki yang ringan tangan, setiap kali ia mabuk dari lapo(kafe)  Bu Lisda dan Brayen akan jadi sasaran amukannya, tetapi ajaibnya bapak Brayen sangat sayang sama Nur.

 

“Maafkan aku Kak, mungkin … ini balasan, dari perlakuanku selama ini padamu,” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.

 

Ia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan ponsel,  jemari itu menekan nomor  Kania.

 

Sementara di sisi lain tepatnya di rumah Kania.

 

Karena hari itu hari minggu badan Kania balas dendam, setelah   mandi, selesai serapan ia hanya tidur-tiduran  di dalam kamarnya sementara  Jonas, Nur, Bu Lisda lagi  berkreasi di kebun belakang.

 

Saat lirik lagu Adele ‘easy on me’ berkumandang di kamar Kania, pendengarannya teralihkan ke ponsel yang bergetar di atas nakas,  dengan cepat ia menyambar  benda pipih persegi empat tersebut, ia berpikir itu panggilan dari William,  ternyata nama pemanggil Brayen. Ia mengecilkan volume musik.

 

“Ada apa lagi sih Pak Brayen, dari tadi nelpon mulu, Abang pasti kangen berat padaku.” Kania berseloroh. Tetapi  tidak ada suara, Brayen diam.

 

“Bang …?” hanya suara napas panjang yang terdengar.

 

‘Pasti terjadi sesuatu padanya’ Kania menduga-duga dalam hati.

 

Beberapa detik  mereka berdua hanya diam, “ Bang, kalau tidak bicara aku menutup teleponnya.”

 

“Apa kamu puas sekarang!”

 

“Puas karena apa,” balas Kania.

 

“Kamu puas sekarang karena mereka merendahkan ku! Menghinaku! Puas kamu Kania!”

 

“Aku tidak mengerti apa yang abang katakan,” sahut Kania dengan tenang

 

Lihat selengkapnya