Beberapa hari kemudian.
Melihat sikap Brayen, Kania pasrah, karena masih marah ia mematikan nomor telepon lamanya dan menggunakan ponsel baru.
“Ada masalah Bos, diam saja ni.” William duduk di kursi di depan meja kerja Kania.
“Tidak ada hanya ingin menggunakan mode diam saja Pak William”
“Tapi tidak biasanya lu diam sepanjang hari ini, apa masalah Brayen lagi?”
Kania diam, sikap diam Kania tersebut menyimpulkan tanda ‘Ya’
“Nia, lu ngapain mikirin laki-laki kayak dia, karena dia ganteng? Apa karena dia suami lu”
“Dua-duanya,” jawab Kania.” Lu pernah gak, merasa ingin memperbaiki satu hal, tapi seolah-olah tidak di kasih kesempatan, lu ingin maju, tetapi terpaksa mundur karena sesuatu hal.”
Kania menatap serius ke wajah William.
“Gak, gue gak pernah seperti itu, kalau merasa sudah yakin ya lakukan saja,” balas William.
“Banyak hal yang harus gue pertimbangkan, karena pernikahan gue dengan Bang Brayen, masih abu- abu, dibilang pasangan suami istri ya. Tapi, kenyataannya dia masih … ah sudahlah.” Kania merapikan tumpukan file diatas mejanya.
“Memangnya kamu mau memperbaiki apa?”
“Hubungan, terkadang aku berpikir ini karma untukku, atas apa yang pernah aku lakukan pada Brayen di masa lalu”
William menatap Kania, dengan tatapan yang lebih serius, ia membenarkan posisi duduk di kursi, “ memang ada apa kamu dengan Brayen di masa lalu, bukannya dia supir kamu saat kita kuliah dulu?”
“Tapi Tunggu … saat lu sama Jonas ke kantor, daddy apa Brayen tidak mengenali, soalnya saat kita kuliah, mungkin kalian bertemu”
“Gak, kan aku pakai kaca mata dan kumis, penampilanku dan Jonas kami samarkan jadi mereka tidak tau. Tadi kamu bilang hubunganmu sama Brayen bagaimana?”
“Dulu aku sangat membenci dia, masalahnya karena aku bersikap baik padanya, dia mengungkapkan perasaanya padaku”
“Jadi … dari dulu Brayen sudah jatuh cinta padamu, lalu, kenapa sekarang, dia mengabaikan”
“Itulah gue bilang, kalau hidup kami di putar balikkan, gue sekarang yang mengejarnya dan dia mengabaikan gue”