Kania masih duduk diam, setelah Sudung pergi, antara rindu bercampur jadi satu menghasilkan kemarahan.
Setelah beberapa menit saling diam, melihat Kania tenang barulah ia bicara lagi.
“Apa aku memesan minuman dingin lagi ?”
“Tidak usah, aku mau pulang”
“Bagaimana dengan yang dikatakan Pak Sudung?”
“Tidak ada, tidak akan terjadi,” ujar Kania ingin berdiri.
Brayen menarik tangan Kania dan memohon agar dimaafkan dan diberi kesempatan, Kania belum bisa melakukannya, ia menolak Brayen, lalu meninggalkan lelaki itu di sana.
Brayen sadar akan kesalahannya, apa yang ia alami saat ini akibat dari perbuatannya di masa lalu.
“Aku pantas mendapatkan ini, tapi aku bukan orang mudah menyerah, aku akan berjuang,” ujar Brayen
Karena mendengar Kania ingin ziarah ke makam mamanya, ia Brayen datang ke sana, ia menunggu Kania di sana, berharap wanita cantik itu datang hari itu, tebakannya salah, Kania tidak melakukannya hari itu, setelah membeli pesanan Jonas dan Iparnya, Kania pulang, ia langsung menuju kamar, apa yang dialami hari itu menguras tenaga dan pikirannya. Ia merasa sangat lelah, merebahkan tubuh dan ketiduran.
Ia bangun sudah sangat sore, sementara Brayen menunggu di makam sampai sore, setelah hari gelap ia pulang dengan perasaan kecewa.
Di sisi lain.
Andre dan Winda bertengkar lagi, pertengkaran sudah jadi makanan sehari-hari bagi pasangan suami istri tersebut, para asisten rumah tangga sudah menganggap hal biasa pertengkaran mereka berdua.
Andre sudah mulai merasa muak dengan sikap winda yang ingin selalu menguasai hidupnya, ia dipaksa bertahan padahal sudah merasa muak dan lelah. Tetapi, Winda selalu mengancam akan mengakhiri hidup kalau Andre sampai meninggalkan dirinya.
Orang tua Andre sudah meminta anak mereka untuk mencari wanita yang bisa melahirkan anak. Karena Winda tidak bisa punya anak lagi karena dokter sudah mengangkat rahimnya.
“Aku sudah lelah Winda, aku capek tolong lepaskan saja aku,” ujar Andre dengan suara lemas setelah lelah saling meneriaki.
“Aku ingin bersamamu sampai aku tua dan mati. Jangan salahkan aku tidak bisa punya anak. Kamu yang jadi penyebabnya”
“Berhenti mengatakan itu untuk menekan ku, aku sudah memikul rasa bersalah itu selama bertahun-tahun, jadi jangan gunakan cara itu lagi, aku sudah bosan,” ujar Andre.
“Kalau saja kamu hari itu tidak selingkuh aku tidak akan keguguran dan rahim tidak diangkat”
“Jangan salahkan aku terus menerus, kamu lah pelakunya”
“Maksudnya ….?” Winda menatap Andre dengan serius.
“Dokter sudah cerita semua padaku, kamu dan ibumu berhenti untuk membohongiku lagi. Malam itu dalam darahmu ditemukan alkohol dan obat penenang. Mana mungkin wanita hamil minum obat penenang!” teriak Andre.
“Tidak, tidak aku bukan pelakunya,” ujar Winda seperti orang yang kehilangan kewarasan.
“Sadarlah, jangan bersandiwara lagi,” ujar Andre.
“Malam itu aku melihatmu bersama wanita lain di bar, aku pulang dan aku minum sedikit ak-”
“Dan kamu minum obat penenang, lalu sekarang siapa yang penyebabnya?”