Andre tidak main-main dengan ucapannya, hari itu ia datang ke sekolah Jonas dan bertemu dengan anak tampan itu.
“Hai Jonas, kami teman mama kamu, hanya ingin bertemu dengan kamu,” ujar Andre.
“Ya Tuhan tampan bangat,” ujar Maminya Andre membelai kepala Jonas.
“Halo Om, Bu. Maaf aku tidak bisa lama-lama aku masih belajar.” Jonas lari dan masuk ke dalam kelas.
Apa yang dilakukan Andre di lihat wali kelas Jonas, tidak ingin hal buruk sama anak didiknya, ia mendatangi Andre dan mamanya, lelaki berkulit putih itu mengaku kalau dia teman dekat Kania. Untuk memastikan hal itu, ibu guru Jonas, menelepon Kania.
Kania sangat kaget karena Andre dan ibunya nekat mendatangi sekolah Jonas.
“Kamu dan keluargamu tidak akan dapat apa-apa , Jonas anak Brayen, secara agama dan negara,” ujar Kania geram, tetapi ia tidak ingin memperlebar masalahnya, jadi ia menutupinya.
Sementara Brayen, setelah mengikuti mobil Kania beberapa hari yang lalu, Brayen akhirnya tau rumah yang ditinggali Kania, ia datang hanya melihat dari luar saja, tidak berani bertamu hanya datang sebentar lalu duduk di salah satu cafe tidak jauh dari rumah Kania.
Saat Kania sedang duduk memikirkan cara untuk menyingkirkan cara agar menjauhi anaknya, tiba-tiba mama Lina, keluarga bapa uda Brayen kalau mereka akan menikahkan anak, sebagai anak tertua harusnya bapak Brayen yang di sana memimpin adik-adiknya.
Kania ingin ibu mertuanya dilibatkan dalam acara marga Sinaga, ia tidak mau karena Bu Lisda miskin lalu tidak dianggap, acara martumpol( tunangan) Kania ingin mengajak ibu mertuanya ke sana.
“Tapi kalau kakak sibu tidak datang juga tidak apa-apa nanti saja pas pestanya”
“Kok Inang ngomong seperti itu, mama bisa kok,” jawab Kania tegas.
“Gak, aku hanya mengingatkan saja, mana tahu kakak itu sibuk,” ujar mama Lina seolah-olah tidak ingin Bu Lisda datang ke acara mereka.
“Kami datang inang.” Kania menutup teleponnya.
Mendengar sikap sombong adik ibu mertuanya, Kania semakin kesal, ‘memang kenapa kalau inang ikut, dia tidak akan meminta uangmu, dia sudah banyak uang dari eda Nur, tenang saja,” ucap Kania marah-marah sendiri
Ia membuka lemari pakaian untuk mencari pakaian yang dikenakan ibu mertuanya, Kania sengaja memilih yang paling bagus , ia juga mengeluarkan emas simpanan Bu Lisda.
“Hadeeeh, aku jadi bersikap pamer seperti ini, karena sikap sombong inang itu. Tidak apa-apa, terkadang untuk mengalahkan orang sombong harus berlaku sombong juga,” ucap Kania.
Lalu ia turun dan menceritakan semuanya pada ibu mertua, seperti biasa Bu Lisda akan selalu mengalah dan menurut, tetapi menurut Kania semua itu salah.
“Mereka semua boleh punya jabatan tinggi Ma, tetapi dalam adat kita mereka adik mama,” ujar Kania.
“Tetapi aku tidak punya muka Nang, apalah yang mama banggakan, kalau saja Brayen dan kamu aku sebagai suami istri mama akan lebih punya harga diri.”
“Jangan takut Ma, harusnya mama itu dilibatkan. Itulah hebatnya orang batak, marga akan akan menyatukan kita semua.”
“Biarkan saja inang, tidak apa -apa kalau mereka bilang datang saat pesta saja, ya sudah.”
“Jangan terlalu baik Ma, seharusnya mereka malu, mama ada di Jakarta, tidak pantas mereka melupakan mama. Mama itu masih paniaran dari Marga Sitanggang”