Saat berkumpul di dalam rumah bapa uda Brayen, Kania mengajak keluarga dari uda Brayen berdebat soal adat, mereka semua berpikir kalau Kania akan menurut apapun yang mereka katakan.
Nyatanya, Kania bahkan sempat saling bersitegang dengan mama Lina, karena perbedaan pendapat. Mama Lina bilang ia sudah sangat berpengalaman soal adat, sementara Kania walau tidak berpengalaman ia sudah mendiskusikan itu dengan keluarga sepupunya dan berdiskusi dengan tokoh adat, karena Kania merasa benar, ia mempertahankan pendapat.
“Saya pikir kakak tidak bisa datang, karena kalian semua kerja,” ujar Mama Lina, ia membela diri saat ia merasa terpojok.
“Maaf ya Inang, seharusnya Inang kabarin dulu, bisa atau tidaknya barulah , inang bisa menyimpulkan, jujur, saya merasa kalau Inang dan suami saya seperti tidak dianggap keluarga”
“Bukan seperti itu, kami menghormati”
“ Bapa mertuaku, walau sudah tidak ada. Namun, inang masih ada Bang Brayen juga ada, biarpun ibu mertuaku miskin. Libatkanlah kami dalam acara keluarga,” ujar Kania, “biar bagaimanapun inang masih tetap Paniaran Sinaga, kecuali kalau inang ini sudah menikah lagi, bisa dilupakan, Tapi, inang tidak melakukan itu, dia bertahan untuk membesarkan kedua anaknya”
Kania mengungkapkan semua perasaan sakit yang selama ini dipendam ibu Lisda, Brayen hanya diam, ia menuruti nasihat Kania untuk menjaga diri, jangan sampai emosi, jika ada yang marah padanya,
“Baiklah, kalau kami salah,” uap Bapak Lina, akhirnya Brayen mendengar kata maaf dari bapa udanya atas keberanian Kania.
“Baiklah Amang sudah mendengar keluh kesah kami, berarti saat pesta nanti untuk duduk di panggung inang salah satunya kan?”
“Gak, sudah ada mam_
“Baiklah Inang, kakak duduk di depan bersama kami,”potong bapak Lina, ia memotong ucapan istrinya, bapa uda Brayen tidak ingin malu di depan semua keluarga, jadi, ia menurut.
“Harusnya Brayen Lah yang bicara, kenapa jadi istri,” ujar inang uda Brayen.
“Suami baik istri sama saja inang, karena istri itu wakil dari suami, ketika suami tidak bisa bicara mengenai adat, saya yang mewakili, karena saya bisa ,” ujar Kania.
Ketika orang yang cerdas yang bicara apa yang dikatakan terdengar masuk akal, keluarga Brayen bungkam saat Kania mengkritik mereka semua, karena selama ini tidak pernah melibatkan Ibu mertuanya saat ada acara Sinaga.
Bahkan Kania berani menegur adik lelaki yang pernah memaki dan membentak Brayen saat ia datang dulu.
“Kau Bicaralah, jangan diam saja!”
“Maaf, mungkin kamu merasa jabatan mu sudah tinggi, tetapi tolong hormati Bang Brayen, umur dia jauh lebih banyak dari kamu. Mungkin suatu saat nanti, dia akan menyewa mu untuk mengawalnya rapat direktur di luar kota,” ujar Kania, “jangan terlalu sombong, biasanya orang yang sombong itu yang akan hancur duluan”
Kalah debat dengan Kania, mereka semua tidak banyak bicara, Kania menempati janjinya kalau ia bisa menegur keluarga bapa udanya, setelah duduk beberapa lama dengan keluarga, Kania dapat telepon dari William.
“Maaf inang kami pamit duluan, nanti saat pesta kami akan datang lagi, kalau ada yang ingin dipersiapkan telepon saja aku,” ujar Kania meninggalkan rumah.
Melihat tatapan tajam keluarga inang udanya Brayen menahan tawa, saat di mobil ia tertawa puas.
“Ada apa sih Bang, kok tertawa terus”