Tangan Brayen masih gemetar, karena shock dengan kemarahan Kania, ia tidak pernah berpikir kalau Kania akan bertindak nekat seperti itu, tidak terbayangkan olehnya seandainya batu besar itu mendarat di kepala Rosa, otak dalam kepala nenek penyihir itu sudah pasti hancur dan Kania akan masuk penjara.
‘Astaga … jantung masih belum stabil’ ucap Brayen ia memeluk tubuh jonas .
“Kita pergi dari sini,” ucap Jonathan.
“Apa ada masalah” Beni berdiri masuk samping mobil.
“Masalah besar”
“Kenapa mama ingin pukul ibu itu?” tanya Jonas.
Beny menatap mereka bergantian
“Apa yang terjadi?” bisik Beny menggunakan gerakan bibir tanpa suara.
“Nanti kita bahas, bawa mobilku saja untuk pulang aku akan antar mereka pulang”
“Oh begitu …. baiklah, tapi nanti jangan lupa berkabar.” Ia berjalan menuju mobil Jonathan.
Beny pulang duluan, sementara Jonathan masuk ke mobil Brayen menunggu beberapa menit untuk mereka menenangkan pikiran, ia melirik Kania yang duduk di belakang, ia menenggelamkan wajahnya di atas lengan yang disandarkan di dudukan jok, Brayen masih diam bahkan perban di siku tangannya berdarah tetapi ia tidak menghiraukannya sementara Jonas duduk di pangkuan Brayen mereka berdua duduk di depan memberi Kania waktu sendiri.
Setelah beberapa menit, barulah ia menjalankan mobil itu kembali. Saat lagi diam Rati menelepon.
“Bang tolong angkat , ini pasti mama.” Kania menyodorkan ponsel miliknya ke Brayen.
“Kalian sudah di mananya …!?” teriak Bu Lisda di ujung telepon, “katanya tadi sudah mau jalan dari sore, ini sudah malam kalian belum sampai”
“Ini sudah jalan Ma, tadi ada urusan sebentar kami,” sahut Brayen.
“Cepatlah, Mama khawatir, dari tadi Nur sudah bolak balik ingin keluar mencari Jonas”
Brayen memberikan teleponnya pada Jonas,” kami bentar lagi pulang ya, Pung”
“ Oppung gak bisa makan dari tadi, kalian gak pulang-pulang. Kau tidak kenapa-kenapa kan Mang,” ujar Bu Lisda, suaranya langsung lembut saat bicara sama Jonas.
“Tidak papa Pung, sudah ya, kami bentar lagi nyampe rumah.” Brayen mematikan telepon.
“Hai, jagoan, apa badannya masih panas?” Jonathan menempelkan punggung tangannya ke arah dahi Jonas. “Uh … makin panas, kita pulang saja ya, nanti biar nantulang Adelio yang kasih obat”
“Ya Tulang,” jawabnya pelan.