Suasana di dalam restoran mewah itu tidak terlalu rame, karena meja yang di sediakan juga terbatas. Awalnya Kania tidak punya Firasat kalau Brayen akan makan malam romantis dengannya.
Saat masuk ke dalam restoran Kania sudah merasakan perasaan yang tidak enak, ia datang ke restoran mewah itu dengan penampilan biasa. Ia berpikir kalau Brayen mengajaknya makan di tempat yang biasa, karena awalnya ia minta mengajak keluarga.
Tapi setelah memperlihatkan kotak cincin ia baru sadar kalau malam ini malam yang spesial, Kania jadi merasa malu, melihat kanan -kiri.
“Bang … kenapa kamu tidak bilang mau ke sini? Pakaianku seperti ini,” bisik Kania.
“Tidak apa-apa, pakaian seperti apapun yang kamu pakai tetap cantik. Bagaimana?”
“Ini cincin untuk melamarku lagi?”
“Bukan melamar jadi istri lagi Kania … aku ingin kamu menerimaku dengan tulus sebagai suamimu”
“Kan, aku memang sudah menerima Abang”
“Tapi kamu belum sepenuh hati, kan?”
“Bang … begini, mungkin kamu berpikir aku tidak menganggap mu sebagai suami, abang salah, aku senang , abang juga sudah mau menerim Jonas, sayang sama dia, abang juga bisa menerima Eda dan Inang, aku senang"
Brayen menarik napas panjang, ia sadar Kania bukan wanita yang mudah menerima segala sesuatu yang baru dalam hidupnya, Kania orang punya pertimbangan. Kalau biasanya Brayen putus dari wanita yang satu, tinggal cari wanita yang lebih cantik, jika dia melakukan kesalahan, akan minta maaf pasti mereka akan memaafkan dengan mudah asalkan di bawa bunga, bunga bank maksudnya.
Brayen sempat berpikir, semua wanita ... mudah untuk ia tahlukkan, walau sudah disakiti berkali-kali akan dimaafkan
Namun, bagi Kania, jika ia sudah pernah disakiti, akan sulit untuk memaafkan dengan mudah, butuh waktu untuk memaafkan,
begitu juga dengan Brayen.
“Itu artinya kamu menolak?”
“Aku tidak bilang ingin menolak, tapi, berikan aku waktu, butuh waktu untukku setiap kali melakukan sesuatu. Jadi cincinnya tetap aku pakai,” ujar Kania, lalu ia memakai di tangannya sendiri.
“Baiklah, aku akan menunggu sampai kamu mau menerimaku”
“Kalau kamu memintaku selalu jujur, apa kamu bisa jujur?” tanya Kania.
“Ya aku bisa”
‘Lalu bagaimana dengan Winda dan Andre yang kamu temui, apa kamu akan merahasiakannya?’ Kania bertanya dalam hati.