Saat lagi duduk di meja makan, Brayen duduk dengan wajah bergembira.
“Boasa las roham na adong do, kabar na dengan?’
( Kenapa kamu terlihat senang, apa ada kabar gembira?” tanya Bu Lisda menggunakan bahasa daerah.
“Ada Ma.” Brayen tersenyum.
“Oppung! bapa sama mama itu, mau menikah lagi,” ujar Jonas.
Bu Lisda tertawa, “mereka berdua kan sudah menikah, Nak.”
“Tapi kata bapak mau di bikin pesta adat lagi.”
Bu Lisda terdiam ia melihat Brayen dan Kania bergantian, wanita itu memang sudah lama menantikan hal itu, saat ia mendengar kalau Brayen akan pesta, itu kabar yang sanga menggembirakan untuknya, ia sangat terharu, hal yang dari dulu yang ia impikan akhirnya terkabul, keinginan Bu Lisda dari dalu hanya ingin melihat menantu dan anaknya bersatu dan ia punya impian … ingin melihat putra satu-satunya duduk di pelaminan dan didoakan banyak orang.
“Benarkah?” Bu Lisda menatap Kania dengan mata berkaca-kaca.
“Ya Ma, kami sepakat sama Bang Brayen, kami akan melaksanakan pesta adat.”
“Terimakasih Tuhan … bagus lah, Nang, aku jadi terharu.” Wanita itu menarik tissu dan mengusap air yang menetes dari sudut matanya.
“Oppung senang gak?” Jonas menatap wajah oppunya yang sedang menangis.
“Ya oppung sangat bahagia Mang,” sahutnya lagi.
“Kalau oppung senang kenapa menangis?”
“Menangis karena bahagia,” balas Brayen.
Setelah selesai serapan Jonas berangkat sekolah diantar supir, sementara Brayen dan Kania berangkat ke kantor sengaja mereka berdua duduk satu mobil agar Brayen punya waktu lebih banyak dengan sang istri.
“Bang aku ketemu klien di barat sedangkan kantormu di timur, bukanya nanti tambah jauh?”
“Tidak apa - apa. Aku ingin seperti suami-suam pada umumnya istrinya diantar suami ke kantor, biar hubungan kita semakin dekat ,” ucap Brayen.
“ Gak begitu juga kali konsepnya Bang, lagian selama ini juga dekat , hanya saja abang itu yang terkadang tidak peka,” ujar Kania.
“Baiklah, dulu aku memang salah, tetapi itu dulu, sekarang tidak akan terjadi lagi, kalian berdua sama Jonas telah menjadikan hidupku lebih berarti.”
Tiba di Cafe yang baru ia buka dengan William, Kania baru saja ingin turun, ponsel Kania berdering kedua alisnya saling bertaut saat menatap layar ponsel, nomor tanpa nama.