Saat Brayen mengabari akan datang ke rumah Lina, keluarga itu bersemangat dan memperbolehkan mereka datang, padahal biasanya kalau ada orang yang datang bertamu di hari kerja biasanya mereka menolak. Kali ini, ada pengecualian untuk Brayen, ia di terima dengan baik bahkan di perlakukan berbeda seperti biasanya.
Saat mobil mereka tiba, mereka di sambut dengan ramah dan baik, sangat berbeda sebelum pesta, saat itu saat Brayen datang ke rumah mama Lina menatap dengan sinis, ia berpikir Brayen datang meminta uang ke bapa uda nya. Namun, kali ini sebuah senyuman sudah terlihat dari semua keluarga itu, terlepas tulus atau tidak, hanya mereka yang tahu.
“Sinilah kalian duduk, mana kakak dan anakmu , kenapa gak di bawa ke sini?”
“Dia kan sekolah Inang,” balas Kania.
“Oh iya … ha, ha, aku lupa,” ujar wanita yang berambut pirang tersebut.
“Inang uda minta kami datang ada perlu apa?”
“Hanya ingin mengobrol sebenarnya, kebetulan bapa udamu libur ngantor dan mama Desmon belum pulang ke Bogor, jadi kami ingin kalian datang ke sini”
“Ini kan jam kerja Inang,” ujar Kania.
“Brayen kan Bos di sana bisalah untuk libur,” ujar Mama Lina , ia tertawa dengan tawa yang dipaksakan.
“Sebenarnya inang uda ingin bilang, bawalah adikmu si Desmon ini kerja,” ujar bibinya yang dari Bogor, “Kamu kan bos di sana bisalah kamu masukkan di di mana saja”
“Yang begini yang repot menghadapi keluarga, walau aku bos di sana memangnya aku bisa asal masuk kini orang … harus ada kemampuan di bidangnya’ ucap Brayen dalam hati.
“Jurusan apa dia Inang?” tanya Kania.
“Dia, Tehnik Sipil”
Saat Brayen dan Brayen tanya kemampuannya ia tidak bisa apa-apa dan belum punya pengalaman kerja sama sekali, padahal sudah dua tahun lulus kuliah, saat Brayen meminta di satu jabatan bawah biar bisa belajar dari awal ia malah menolak.
“Kalau hanya gaji segitu dan jabatan segitu … mending aku main game di rumah,” ujar lelaki itu dengan nada sombong.
Kania dan Brayen malas untuk berdebat dan malas untuk menjelaskan panjang lebar, akan buang- buang waktu memaksa orang itu kerja karena hidupnya sudah terlalu nyaman selama ini biaya hidupnya di sokong orang tuanya, dimanjakan dari dari kecil membentuk karakter yang gampang menyerah dan sikap pemalas.
“Benar kata Abang ini … kamu harus dari bawah, untuk tahap belajar,” ujar Lina.
“Percuma dong Bang Brayen Bos, kalau aku tetap jadi pegawai bawahan,” keluhnya lagi. Raut wajahnya angkuh dan sombong, “di perusahaan temanku saja aku sudah ditawarin gaji sepuluh juta sebulan, aku tidak mau,” imbuhnya lagi.
Brayen tidak peduli dengan bualan adik sepupunya, Brayen tidak mau menanggung resiko memperkejakan pegawai yang tidak punya kemampuan, Desmon hanya mengandalkan bacot saja , tetapi ia tidak punya skill apapun, ia hanya bisa bermain game sepanjang hari.
“Kalau begitu, Maaf abang tidak bisa memasukkan kamu ke sana, di Lonax itu semua orang -orang yang punya kemampuan”