Setelah menjemput Jonas dari tempat latihan, Brayen mengajak mereka berdua ke mall, sekalian ke tempat yang ada wahana bermain. Brayen dengan senang hati menemani anak lelaki itu bermain, inilah yang disukai Jonas dari Brayen, mengerti kemauannya, sering mengajak bermain bersama, apa lagi keduanya sama-sama suka main basket.
Kania hanya duduk menonton mereka berdua bertarung memecahkan skor yang paling tinggi dalam game memasukkan bola basket dalam keranjang.
“Kenapa lama - lama mereka berdua jadi mirip seperti itu,” gumam Kania pelan, ia mengabadikan momen keseruan Brayen dan Jonas.
“Ma … ! sini!” teriak Jonas memanggil Kania.
“Gak ah kalian dua saja, mama bagian video saja.” ujar Kania mengarahkan kamera ponsel dan merekam mereka berdua.
Tiba-tiba Brayen mendekat dan menarik tangan Kania, “ kalian berdua lawan bapak,” pungkas Brayen ia menggulung lengan kemeja sampai ke siku tangan.
“Ok siapa takut,” sahut Kania ia memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu mengambil bola dan melemparkan ke dalam keranjang , lalu di susul Jonas, mereka berdua melakukan dengan cepat dan mengeluarkan kekuatan mereka berdua, tetap saja ibu dan anak itu bisa dikalahkan sama Brayen, Jonas melompat kegirangan ia berusaha keras agar bisa menang.
Tawa ceria terdengar dari Kania, memainkan permainan kanak-kanak itu kembali mengingatkannya dengan masa kecilnya yang bahagia. Dulu saat mama Kania masih hidup ia juga memiliki cerita masa kecil yang bahagia.
Melihat Kania tertawa lepas Brayen semakin semangat memasukkan lebih banyak bola untuk mendapatkan skor yang paling banyak.
Tidak ingin melihat Jonas sedih, Brayen mengalah Kania dan Jonas yang berhasil memasukkan lebih banyak bola, bocah lak-laki itu melompat kegirangan.
“Bapak kalah belikan kami eskrim,” ujar Kania dengan waja memerah dan kening berkeringat.
“Ok, siapa takut,” sahut Brayen, ia mengeluarkan sapu tangan dari saku celana mengusap wajah Jonas .
“Kita makan Pak, aku lapar.” Jonas memegang perut.
Puas menemani Jonas bermain, lalu mereka makan, tidak sampai di situ keseruan mereka, saat semua orang bekerja di kantor satu keluarga itu menghabiskan waktu bermain dan bersenang-senang, lalu, Brayen mengajak Kania keliling mall, ia tidak sungkan lagi menggenggam telapak tangan istrinya, kalau dulu jalan kemana-mana mereka berdua terlihat sangat canggung seperti orang yang baru pertama pacaran. Kali ini, lelaki bertubuh tinggi itu sudah berani memegang pinggang Kania sembari berjalan santai keliling mall, belanja apa yang diinginkan Jonas, ia tampak seperti suami yang sangat romantis dan bapak yang baik , ia yang membawa tas sekolah Jonas di punggungnya.
“Kita ke sini dulu.” Brayen menunjuk toko perhiasan.
“Untuk apa?” Kania menatap Brayen sembari mengulum senyuman manis.
“Lihat saja nanti,” ucap Brayen, mengecup pinggang tangan Kania yang ia genggam
sedari tadi.
Tiba di dalam toko, ia mengeluarkan kertas kecil dari dompet, tidak lama kemudian pekerja toko membawa kotak pesanan Brayen, di dalamnya sepasang cincin yang bertuliskan nama masing-masing. Ternyata beberapa minggu yang lalu, Brayen sudah memesan cincin di toko tersebut. Kania pernah marah karena mereka tidak memilki cincin pernikahan, karena menikahi dulu terpaksa , menikah