Hanya hitungan hari, ternyata hidup seseorang bisa berubah, Kania wanita yang cerdas, karena itulah ia bisa menjatuhkan Iyos dan keluarganya. Kania tahu kalau restoran yang baru di buka Iyos tidak akan berjalan, tidak akan ada orang datang ke sana karena tempat itu banyak premanisme karena itulah ia dan william menutup cafe milik mereka.
Disisi lain Brayen masih di Batam, harusnya beberapa hari yang lalu ia akan kembali ke Jakarta, karena banyak pekerjaan ia menunda pulang. Kania berpikir kalau Brayen lama waktu pulang ke Jakarta karena marah dengan apa yang di dilakukannya, malam itu Kania menelepon suaminya, ia ingin menjelaskan pada Brayen tentang apa yang sudah ia kerjakan.
“Apa papah belum pulang?” tanya Kania, ia melakukan panggilan melalui vidio call.
Awalnya Brayen masih merasa kesal, setelah tahu kalau Kania tidak jujur padanya, saat melihat wajah lelah dari wanita cantik itu, ia berubah pikiran.
“Apa kamu sakit, wajahmu sangat pucat?” Tanya Brayen balik bertanya.
“Aku sangat capek, kurang tidur karena ulah mereka semua, ada wartawan di kantor,” ucap Kania berusaha menyembunyikan kesedihannya pada sang suami.
“Apa mereka inginkan lagi, kan aku sudah menjelaskan tentang Nur pada salah stasiun televisi,” ucap Brayen.
“Mereka bertanya kenapa aku membeli bangunan itu.”
Mendengar hal itu wajah Brayen langsung berubah datar, ia hanya diam.
“Apa Papah marah?”
“Kamu melakukannya tanpa memberikanku Kania, sebagai suami wajar aku marah.”
“Gini saja, nanti kalau Papah sudah pulang aku akan menjelaskan semuanya,” ucap Kania berusaha tersenyum.
‘Apa lagi yang kamu sembunyikan dariku Kania, aku tahu pasti ada sesuatu yang membuatmu sangat sedih’ ucap Brayen dalam hati.
“Baiklah, tapi apa kamu baik - baik saja?”
“Hanya kurang istirahat saja Pah, nanti setelah papah pulang mungkin aku akan lebih tenang.”
“Tadinya aku masih marah, tapi melihat wajahmu saat ini, aku jadi tidak bisa marah menurutmu, aku lemah gak?” tanya Brayen merebahkan tubuhnya di ranjang hotel.
“Tidak … itu karena aku terlalu cantik, jadi kamu tidak bisa marah,” ujar Kania bercanda, ia juga merebahkan tubuhnya di kasur.
“Ya itu benar, kecantikan mu membuatku tidak berdaya,” balas Brayen akhirnya ikut tertawa.
Malam itu, mereka berdua terlihat seperti pasangan kekasih yang sedang LDR an, saling bercanda, menebak teka-teki sampai saling curhat, hingga akhirnya Brayen menyerah.
“Ma, kita tidur ya, besok aku akan rapat,” ujar Brayen, ia melirik jam di pergelangan tangannya, dan pura -pura tidur, jarum jam sudah bertengger di angka jam sebelas belas malam, tidak terasa ia hampir tiga jam bertelepon dengan sang istri.