Kejadian yang menerpa mamanya di masa lalu, membuat Kania sangat terpukul dan sedih, hal yang paling tidak bisa ia terima, keluarga sendiri ikut terlibat dalam kematian mamanya.
Brayen mempercepat pindah rumah, ia mengurus semuanya sendiri ia berharap dengan mereka pindah rumah, hal buruk sedikit berkurang, maka ia melakukan semuanya sendiri, mulai memindahkan Jonas ke sekolah yang baru dan memindahkan barang-barang mereka dari rumah yang lama.
Brayen meminta Kania untuk istirahat saja di rumah, setelah pindah rumah, Brayen selalu ada untuk mendampingi sang istri menghadapi ujian berat tersebut, ia sengaja tidak masuk kerja untuk menemani Kania.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan di tepi pantai,” bujuk Brayen, ia ingin Kania bangkit dari kesedihannya.
“Aku malas Pah,” balas Kania.
“Kita akan pungut kulit kerang, lalu kita bingkai,” bujuk Brayen, ia terlihat seperti ingin membujuk anak kecil.
“Nanti kita akan bakar ikan?” Kania menatap wajah sang suami.
“Nanti kita akan buka restoran, khusus masak ikan laut,” ucap Brayen, Kania tersenyum kecil.
“Aku hanya ingin bakar ikan hari Pah, bukan minta dibuat restoran,’ ucap Kania.
“Ya, kita akan bakar ikan, bakar ubi, bakar jagung. Kamu harus kuat Mah, Jonas bertanya kenapa mamanya selalu di kamar,” ucap Brayen, ia duduk di sisi ranjang mengusap punggung tangan istrinya.
“Aku belum bisa mengatasi hatiku saat ini Pah, kenyataan itu sangat menyakitkan bagiku hatiku selalu bertanya kenapa tanteku tega .… Kalau itu orang lain aku akan membalas, tetapi ini tanteku sendiri,” lirih Kania wajahnya kembali mendung.
“Dia kan sudah bilang kalau dia ancam sama si Iyos.”
“Harusnya tante melawan, dia menyembunyikan kebenaran itu selama sepuluh tahun lebih dari kami, saat aku berjuang mencari kebenaran tentang kematian mommy, ternyata tanteku sendiri ikut terlibat, itu sakit sekali rasanya Pah,” ucap Kania ia mengusap buliran yang menetes itu lagi.
“Aku tahu Mah, itu sangat menyakitkan, biarkan Tuhan yang membalasnya,” bujuk Brayen ia takut istrinya melakukan hal yang menakutkan lagi.
“ Iyos akan mendapatkan balasannya, aku ingin dia mati.” ucap Kania. Brayen langsung terdiam, itulah hal yang paling ia takutkan.
“Jangan bicara seperti itu, tidak baik membahas kapan kematian seseorang, karena itu hak Tuhan,” ucap Brayen.
“Jika hukum alam belum bisa melakukannya, birkan aku saja,” ujar Kania.
Brayen langsung memeluk Kania dengan erat, ia tidak mau kemarahan dan dendam menguasai hati istrinya.
“Serahkan saja samaku,” bisik Brayen.
“Apa?” Kania terkejur, “apa yang abang lakukan?” wajah Kania panik.