Keluarga Hanya Ingin Numpang Nama
Setelah semua masalah yang terjadi yang sudah mereka lewati, hubungan antara Kania dan bapa sudah membaik, tidak ada lagi dendam di hati Kania, walau hatinya sedikit belum tenang karena Rosa dan Andre masih menghilang entah kemana. Hanya Iyos yang masuk ke hotel prodeo, masa kejayaan lelaki jahat itu sudah berakhir.
‘Sudah jatuh tertimpa tangga pula’ ungkapan itu sangat cocok dengan Iyos, saat ia terpuruk jatuh miskin dan mendekam di penjara ternyata, pengacara istrinya memaksanya untuk berpisah.
Ia tidak punya siapa- siapa lagi, istri yang dulu sangat mencintai dan berjuang bersamanya akhirnya dengan yakin meninggalkannya, bahkan anak yang ia bela mati-matian di penjara juga meninggalkannya, terpuruk, putus asa, itulah yang dialami Iyos saat punya banyak harta dan uang semua orang berlomba ingin dekat padanya, di saat ia terpuruk, tidak ada satupun keluarga yang datang menjenguknya dan begitulah cara dunia ini bekerja, ada uang kamu teman tidak ada uang kamu bukan siapa- siapa.
Beberapa hari kemudian.
Selama ini Bu Lisda tidak tahu kalau menantunya seorang wanita sukses yang punya perusahaan dan keluarganya orang kaya, ia hanya tahu kalau Kania membuka toko pakaian di mall.
Setelah diceritakan semuanya pada Bu Lisda, akhirnya wanita tahu siapa sebenarnya Kania, akhirnya ia tahu kalau menantu kesayangannya bukanlah yatim piatu dan bukan orang miskin, identitas sang menantunya akhirnya terungkap, kalau perusahaan yang dipimpin putranya sebenarnya, milik keluarga menantunya.
Saat diajak ke rumah bapa Kania awalnya Bu Lisda tidak tahu kalau rumah itu, rumah keluarga Kania, setelah di ceritakan barulah tahu kalau sang menantu ternyata dari keluarga berada.
“Jadi mama mau ingin apa katakan saja sama parumaenmu ini,” ucap Kania tersenyum
(Parumaen> menantu perempuan)
“Jadi selama ini Bapak ternyata masih hidup, kenapa kamu bilang samaku kalau bapa sama mama sudah meninggal?’ tanya Bu Lisda.
“Karena saat itu aku sangat membenci Bapak, karena aku punya mama tiri, tapi sekarang kebenaran terungkap, mama tiriku terlibat dalam kematian mama.”
Bu Lisda memeluk Kania, memberinya kekuatan dan banyak nasihat untuk belajar ikhlas dan memaafkan agar hidup lebih tenang, Bu Lisda akhirnya paham, kenapa dulu menantunya tidak bisa kerja apa- apa saat di kampung, tidak tahu caranya melakukan pekerjaan rumah.
“Sekarang aku mengerti, kenapa dulu kamu tidak bisa melakukan pekerjaan di rumah saat baru-baru datang, bukannya kamu tidak mau … itu, karena kamu tidak pernah kerja.”
“Ya Ma, aku tidak bisa apa-apa karena terbiasa di layani sama mbak di rumah, untungnya mama tidak mau marah padaku, kalau mama marah, aku pasti sudah kabur dari sana,” uap Kania mengenang masa lalu dengan ibu mertua kesayangannya.
Brayen, Kania, Bu Lisda, Jonas, Nur duduk di atas rumput di depan rumah mereka, menatap pantai Kapuk yang sejuk di sore hari, suasana damai itu mengingatkan mereka akan Danau Toba yang sejuk.
“Pah, apa kamu tahu kalau mama ini, tidak pernah marah padaku saat di kampung pahal aku sangat menyebalkan dulu, kerjaannya hanya duduk tidur- tiduran dan makan.” Kania tertawa.