Setelah keluarga sepakat, kalau pesta adat akan di lakukan di kampung, Bu Lisda dan Nur rencananya akan pulang ke kampung duluan, untuk membantu persiapan pesta.
Tidak ingin mamanya capek, Brayen meminta seorang perawat,satu asisten rumah tangga dan dua orang laki-laki. Rencananya untuk membantu Bu Lisda di kampung, kini lelaki itu sudah menunjukkan perhatiannya pada orang tuanya.
Ia sadar, semakin ia sayang pada ibunya semakin banyak berkat dan rezeki yang ia terima. Ternyata acara pulang kampung duluan kurang disetujui Kania, ia berat hati meminta ibu mertuanya yang sudah tua untuk pulang kampung tanpa mereka.
“Jangan khawatir sayang dia akan baik- baik saja dia kuat,” ucap Brayen saat Kania merasa tidak tenang saat ibu mertuanya pulang.
“Bagaimana kalau inang capek. Pah dia suh tua enampuluh lima tahun.”
“Aku sudah minta satu orang suster, Rati juga ikut sama mereka, Billy, Togi, ikut.”
“Tapi mereka kan tidak tahu kampung papah seperti apa, ke sana harus naik kapal, apa -apa di sana itu susah,” tutur Kania.
“Justru Togi sama Billy orang satu kampungku, aku meminta mereka pulang bantu mama untuk persiapan pesta. Mereka berdua justru senang, bisa pulang kampung ongkos pulang pergi aku yang tanggung, jangan khawatir mereka berdua orang baik,” ucap Brayen.
Kania menghampiri ibu mertuanya yang sedang sibuk merapikan barangg - barang yang akan dibawa pulang.
“Mama yakin masih kuat?” Wajah Kania pucat.
“Kuat Nang mama bersemangat pulang kampung, kalau kita tunda -tunda terus kapan terlaksana, Kita sudah hampir satu tahun lebih di Jakarta.”
“Tapi punggung mama katanya sakit kemarin?”
“Sudah mendingan .”
“Yakin Ma?” tanya Kania lagi.
“Iya, jangan takut mama akan pulang lagi ke sini,” ucap Bu Lisda, ia memeluk pundak sang menantu, “kamu istirahat saja, sepertinya kamu kecapeaan belakangan ini, wajahmu pucat.”
“Aku tidak ingin Mama pulang kampung tanpa kami, mama kalau masih sakit kita bisa tunda lagi kok, masih panjng waktu.”
“Tunda terus menerus tidak baik Nang, mama ingin cepat selesai biar tenang pikiran mama.”
“Baiklah, aku berharap mama itu tidak capek.”
“Tidak capek masih kuat,” jawabnya bersemangat.
Brayen hanya berdiri di tiang pintu kamar menyadarkan punggungny di sana, menatap Kania begitu khawatir sama Bu Lisda, Kania menatap sedih kearah ibu mertua.
“Mah, inong itu wanita yang kuat,” ucap Brayen ia duduk si sisi ranjang di samping Kania, memakaikan jaket ke tubuh Kania yang terlihat kurang sehat. “kamu istirahat saja,” bujuk Brayen lagi.
“Ya mama sudah kuat sejak dari lahir.” Bu Lisda menceritakan bagaimana ia berjuang hidup di masa sulit saat ia masih anak-anak.
“Tapi itukan dulu, Punggung mama itu kan masih sakit, kalau berpikir mendingan sampai sembuh dulu.”
“Punggung mama sudah sakit hampir tiap malam, kalau ditunda lagi kapan dong,” ucap Brayen mendukung mamanya pulang kampung.
Saat duduk seperti itu tiba-tiba Kania menangis seperi anak kecil yang takut ditinggal mamanya yang akan pergi ke luar kota.
Ia sesegukan. Brayen dan Bu Lisda, Jonas, Ratih saling melihat . Kania bukan wanita yang lemah selama ini, tetapi entah kenapa ia menangis ketakutan saat sang ibu mertua ingin pulang kampung.
“Mama kok … menangis katanya waktu itu setuju,” ujar Jonas .