Setelah kebenaran terungkap hari itu, Brayen dan Kania masih terlihat shock, kenyataan itu tidak mudah bagi Kania. Dua belas tahun yang lalu, saat putranya lahir ia ditolak sama Brayen, saat masih di kampung, hidup tidak pernah merasakan kasih dari seorang ayah, ia diejek dan dihina orang lain.
Brayen masih menangis memeluk Jonas, Sudung dan Kania ikut turun, mereka ikut bergabung di lapangan, melihat Brayen masih berlutut di rumput Memeng kaki Jonas dengan erat, Brayen merasakan perasaan yang campur aduk, antara senang , bahagia dan sedih.
“Apa ada masalah Pak?” tanya Jonas semakin bingung.
“Bapak salah, aku minta maaf Bang, aku terlalu bodoh aku tidak menyadari selama ini.” desis Brayen lagi
“Menyadari apa Pak?”
“Bang, bapak sangat sayang padamu, aku sangat sayang anakku,” ucap Brayen masih berurai air mata
Jonas hanya diam tidak mengerti apapun yang dikatakan Brayen dan ia juga bingung kenapa lelaki itu menangisi dirinya.
Daren yang berdiri tidak jauh dari Jonas ikut dibuat bingung.
Tidak ingin Jonas bingung, Pak Sudung mengajak mereka kembali duduk.
“Ada apa sih kok semua tangis-tangisan?” tanya Daren.
“Daddy akan menceritakan semuanya, duduklah di sini Jo,” ujar Pak Sudung.
“Apa ada ha yang penting?” wajah Daren ikut tegang, mereka takut ad hal buruk yang terjadi.
“Jo, jangan khawatir lagi ya, tidak akan ada lagi yang memisahkan kamu dari mama sama bapak,” ucap Pak Sudung.
“Kenapa apa pengadilan menolak gugatan Andre?” Daren menatap mereka dengan penasaran , pemuda berkulit putih itu menunggu jawaban.
“Bukan, Jonas sebenarnya anak kandung Brayen.”
“APA!! KOK BISA!?”
Daren tersentak kaget, ia menatap mereka semu bergantian, bukan hanya Daren Jonas tampak bingung ia menatap mama bapaknya yang sama-sama menangis.
“Winda manipulasi semuanya Mas Daren,” jawab Yeslin membantu menjawab.
“Ya, tapi bagaimana mungkin selama ini kalian tidak tau,” ujar Daren kaget.
“Daren, ini tidak semudah yang kamu pikirkan, ada campur tangan Rosa dan Iyos pasti, Winda tidak bekerja sendirian.
“Maksudku selama dua belas tahun, masa baru ketahuan sekarang.”
“Daren, tolong jangan ungkit lagi kepalaku sakit,” ucap Kania memegang kepalanya.
“Beberapa waktu yang lalu sebenarnya aku sudah tau, aku hanya ingin mencari waktu yang tepat untuk menceritakannya, aku tidak ingin kakakmu banyak pikiran yang mempengaruhi ke kehamilannya.”