Apabila

D
Chapter #2

Pulang

“Aku ngelakuin ini supaya ga ada yang bisa ngambil kamu dari aku!”

“Kamu selamanya punya aku Rilla! Engga ada yang boleh ngambil kamu dari aku.”

“Kamu punya aku Rilla! Kamu ga boleh pergi!”

“Rilla, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu. Kamu ga boleh ninggalin aku sendirian.”

“Rilla ... Rilla ... Rilla!”

“Kamu cuma punya aku Rilla!”

.

Rilla mendadak membuka mata nya dengan nafas yang tersengal. Seluruh badannya berkeringat dan jantung nya berdetak dengan kencang. Ia menatap langit-langit kamar sambil mencoba menenangkan diri dengan mengatur nafas. Suara-suara tadi adalah suara-suara dari masa lalu Rilla.

Ia bangun dan segera ke kamar mandi untuk mencuci muka. Rilla masih berusaha menenangkan diri dan menyadarkan bahwa itu semua hanyalah mimpi. Rilla kemudian mengambil ponselnya dan melihat bahwa jam menunjukkan pukul 2 pagi. Ia pun terus terjaga hingga pagi hari.

 

*****

 

“Jadi Rilla, suara-suara dan semua kejadian masa lalu kamu itu kembali muncul di mimpi kamu?” tanya psikolog Eli.

Psikolog Eli sendiri merupakan psikolog yang menangani Rilla sejak 5 bulan lalu.

“Iya. Semua suara dan ingatan itu kembali muncul di mimpi saya,” jawab Rilla atas pertanyaan psikolog Eli tadi.

“Rilla, saat kamu pertama kali datang ke sini, kamu bilang kamu terus mengalami mimpi yang sama, yaitu kejadian buruk di masa lalu kamu. Saya masih ingat cerita kamu. Mimpi yang sekarang sama kan dengan yang dulu?”

Rilla kemudian hanya mengiyakan pertanyaan tersebut.

“Sejak pertama kali kamu ke sini 5 bulan yang lalu, baru kali ini mimpi dan suara-suara itu muncul lagi kan? Dalam 3 bulan pertama kamu berhasil mengatasi PTSD dan depresi kamu. Di bulan ke empat kamu mengatakan bahwa kamu sudah merasa biasa saja. Kemudian 1 bulan terakhir kamu sudah tidak ada konsultasi dengan saya lagi. Benar kan?” tanya Psikolog Eli memastikan kembali.

“Iya,” jawab Rilla singkat.

“Apa belakangan ini kamu sedang stres? Tertekan? Atau ada hal-hal yang mengingatkan kamu dengan trauma masa lalu kamu itu?”

Rilla berdiam diri sejenak, mencoba memikirkan apa yang terjadi pada dirinya belakangan ini. Psikolog Eli yang melihat Rilla terdiam kemudian kembali berbicara.

“Rilla, seperti yang sudah pernah saya bilang bahwa kemungkinan trauma kamu ini berhubungan dengan pria. Dari pertama kali kamu datang ke sini dan menceritakan latar belakang keluarga kamu, dimana ayah kamu bukan sosok ayah dan suami yang baik dalam keluarga. Selanjutnya juga kamu pernah ada dalam hubungan yang tidak sehat dan mengalami berbagai macam kekerasan dari mantan pacar kamu. Menurut saya, kemungkinan besar trauma ini kembali muncul karena hal-hal yang berhubungan dengan pria. Jadi, apa belakangan ini kamu dekat seorang pria atau memiliki masalah dengan pria?” Psikolog Eli bertanya sambil melihat ekspresi wajah Rilla yang nampak datar.

Setelah beberapa saat, Rilla pun mulai bercerita kepada Psikolognya itu.

“Ada seorang laki-laki. Dia senior saya di kampus. Kami sudah lama kenal, sejak pertama kali saya masuk kuliah. Dia... menyatakan perasaannya pada saya sejak tahun lalu dan saya menolaknya. Kami tetap bersama setelah itu. Tapi satu bulan yang lalu saya mengetahui bahwa dia memiliki pacar baru,” jelas Rilla dan kemudian tertunduk.

Psikolog Eli mulai mengangguk pelan seolah mulai mengerti apa yang terjadi pada pasiennya tersebut.

“Rilla, apa dulu kamu menolak nya karena takut? Apa kamu takut memulai hubungan lagi?” tanya psikolog Eli pelan.

Rilla sedikit terkejut dengan pertanyaan psikolog Eli. Ia terkejut karena pertanyaan itu tepat sasaran. Sejenak, Rilla hanya terdiam ragu sambil melihat wajah psikolog Eli tanpa menjawab. Namun, pada akhirnya Rilla mengiyakan pertanyaan psikolog Eli tadi.

“Mungkin mimpi-mimpi itu kembali karena kamu kembali merasa terlukai. Kamu jadi merasakan sakit yang hampir sama rasanya seperti dulu saat kamu dengan mantan pacar kamu. Saran saya, kamu coba untuk tidak terlalu stres dulu dan berusaha fokus pada hal-hal yang membuat kamu senang, seperti melakukan hobi kamu atau hal lain. Coba tangani masalah kali ini seperti kamu menangani nya di awal. Saya yakin kamu bisa menangani depresi dan PTSD kamu.”

 

 

*****

 

Rilla keluar dari ruangan psikolog Eli dengan wajah yang terlihat lesu. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk tidak karuan. Ia berjalan keluar menuju tempat parkir rumah sakit. Sambil berjalan, ia mengecek pesan yang masuk di handphone nya.

“Rilll, jangan telat sore ini jam 4 ketemu di Cafe XX! Awas telat!”

Pesan itu dari Kaya, teman kampus Rilla.

Rilla yang melihat pesan itu langsung berlari karena jam sudah menunjukkan pukul 3.45 sore.

Lihat selengkapnya