Rilla berjalan keluar dari bandara sambil membawa koper dan tas ranselnya. Dari kejauhan nampak seorang pria berusia 40 tahunan berjalan mendatangi Rilla.
“Rill, sini bapak bawain tasnya,” ucap pria tadi.
Rilla tersenyum dan kemudian berterima kasih pada pria tadi sambil menyerahkan kopernya.
“Makasih ya pak Maran.”
Pria tadi adalah pak Maran, supir keluarga Rilla yang sudah bekerja sejak 10 tahun yang lalu.
Rilla dan Pak Maran pun pergi menuju mobil di parkiran dan mereka pun pulang ke rumah Rilla.
*****
Langit kota itu belum berubah sejak terakhir kali Rilla pulang. Terakhir, Rilla pulang 2 tahun yang lalu saat liburan semester satu. Sekarang ia sudah menyelesaikan semester 5 dan akan memasuki semester 6.
Rilla terus menerus melihat keluar jendela. Ia mengamati seluruh tempat yang dilaluinya. Kota itu ... memiliki banyak kenangan bagi Rilla. Maklum, sejak lahir hingga lulus SMA, Rilla memang tidak pernah pindah dari kota itu.
*****
20 menit kemudian Rilla telah sampai di rumahnya. Ia turun dari mobil dan langsung masuk ke rumahnya.
“Rilla, akhirnya kamu sampai juga,” ucap mamanya Rilla sambil berjalan menuju Rilla dan memeluknya.
“Rilla. Kamu ke kamar dulu sana. Ganti baju dan beres-beres. Kamar kamu udah dirapiin sama si mbok. Habis itu kita siap-siap makan siang. Kaka sama adek kamu belum pulang. Tadi mereka mama suruh ke toko roti buat beliin roti kesukaan kamu,” sambung mama Rilla.
Rilla pun akhirnya menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya yang ada di lantai. Saat memasuki kamar, Rilla merasa kamarnya masih terlihat sama meskipun sudah ia tinggalkan selama dua tahun.
Dua tahun mungkin waktu yang tidak terlalu lama. Tetapi, bagi Rilla dua tahun itu terasa sangat panjang.
*****
Setelah selesai berganti baju dan membereskan barang-barangnya, Rilla pun ke luar kamar. Ia menuruni tangga dan berjalan menuju dapur. Mama dan mbok yang bekerja di rumah nya sedang memasak bersama untuk makan siang. Tidak lama kemudian kakak dan adik Rilla datang.
“Rill, itu roti nya di Aira. Gue beliin yang coklat sama coklat keju kaya lo biasa. Yang keju punya gue, sisanya punya Aira. Jangan ampe kemakan, ntar dia ngamuk,” ucap Nilla, kakak Rilla.
“Nih roti buat ka Rilla. Tadi mama nyuruh Aira sama ka Nilla beliin ini,” ucap Aira dengan sedikit ketus sambil menyodorkan plastik yang penuh dengan roti.
“Ya ampunnnn Aira dedek nya Rilla baik bangettttt!!!” puji Rilla sambil memeluk adik nya itu. Aira pun langsung melepaskan pelukan Rilla dan pergi dengan wajah ketusnya.
Rilla memiliki seorang kakak perempuan bernama Nilla. Usianya 6 tahun lebih tua dibandingkan Rilla. Nilla seperti figur kakak perempuan pada umumnya. Ia memiliki sifat yang baik dan menjengkelkan disaat yang bersamaan. Sedangkan adik mereka berdua yang bernama Aira usianya 7 tahun lebih muda dari Rilla. Ia adalah orang yang ketus dan pemarah, tapi sebenarnya Aira lah yang paling lembut dibandingkan dengan kedua kakak perempuannya yang lain.
“Btw, kalian berdua kok kayaknya biasa aja liat gue pulang? Ga ada mau meluk atau gimana gitu? Ga kangen?” tanya Rilla dengan nada menggoda pada kaka dan adiknya itu.
Pertanyaan Rilla tidak digubris oleh kedua saudaranya. Mereka memang biasa saja melihat Rilla pulang karena bagi mereka dua tahun bukanlah waktu yang lama.
.
Mbok dan mama Rilla sudah selesai memasak. Mereka pun menyiapkan makanan di atas meja makan.
“Rilla, Aira, Nilla, ayo cepat duduk. Kita makan sama-sama,” panggil mama mereka. Mereka berempat pun makan bersama.
Sambil makan siang, mereka pun berbincang.
“Ma, langsung aja. Jadi kenapa om Putra sama tante Mawar mau jual rumah nenek?” tanya Rilla langsung ke inti permasalahan.
“Jadi om Putra sekarang udah gapunya uang sama sekali. Kamu tau kan om Putra sama tante Mawar itu hidupnya boros banget. Sekarang mereka bingung mau cari uang dari mana lagi. Makanya mereka berencana jual rumah nenek kamu dan uangnya buat beli rumah baru sama buat mereka hidup.”
“Tapi kan rumah itu bukan punya om Putra. Rumah itu juga punya mama sama tante Desi. Dia emang anak cowo yang paling tua, tapi kan bukan berarti dia bisa main jual rumah nenek gitu aja,” ucap Rilla dengan marah.
“Mama sama tante Desi udah berasa cegah dia. Tapi dia masih bersikeras mau jual rumah nenek. Ya mama mau gimana lagi? Om Putra kan sama tante Mawar emang selama ini gapunya pemasukan dan cuma ngandalin Ega, sepupu kamu, buat hidup.”
Rilla masih marah dengan apa yang didengarnya. Dia marah dengan omnya yang ingin menjual rumah neneknya itu. Dia juga marah dengan mamahnya yang seakan tidak berusaha melawan omnya itu.
Rilla sekarang sudah kehilangan nafsu makannya. Ia hanya berdiam diri dan mencoba berpikir apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan rencana itu.
“Ma, besok Rilla minta anterin dan minta temenin Pak Maran buat ke rumah nenek ya. Rilla bakal sekalian ngomong sama om Putra sama tante Mawar. Mungkin juga Rilla bakal nginep di sana.”
Rilla pun berdiri dan meninggalkan meja makan. Nilla dan Aira hanya terdiam melihat saudaranya itu berjalan dengan wajah yang masam. Mereka tahu bahwa Rilla sangat sensitif jika berhubungan dengan nenek mereka.
*****