Kata orang; sepintar apa pun kerja otakmu, segalanya akan sia-sia jika tidak ada sematan gelar sebagai pembuktian.
***
Sekarang sudah masuk bulan November, atau bisa disebut bulan hujan. Bulan ini biasanya dinanti oleh para petani agar sawah dan ladang mereka tak tandus lagi. Dengan adanya hujan, tanah akan kembali subur dan dapat ditanami berbagai macam kebutuhan pokok yang dapat menghasilkan.
Banyak yang menyukai bulan hujan.
Kecuali Anin..
Dengan lesu, gadis 22 tahun itu memasuki pintu kamar yang sudah lama ditinggalkan. Sisa hujan tadi sore masih terasa hingga ia memutuskan berganti pakaian yang lebih tebal agar tidak merasa kedinginan.
Kamar itu tampak kecil. Hanya berukuran 3 x 4 meter yang hanya mampu menampung; kasur, rak kecil di sudut kanan, lemari kayu mungil, dan beberapa dus berisi buku-buku lama yang sengaja disimpan di dekat kaki tempat tidur.
Sementara itu, terdapat beberapa pakaian yang walaupun terlipat rapi namun terlihat aneh karena diletakkan di tempat yang bukan semestinya. Seluruh lemari sudah penuh dan Anin belum sempat membeli yang baru. Pemandangan kamar yang seperti itu membuatnya semakin merasa sesak dan memilih mengabaikan saja dengan merebahkan diri untuk meregangkan badan.
Belum lebih dari satu minggu melepas pekerjaan dan akhirnya menyandang status sebagai pengangguran, namun ia sudah merasa miskin dengan uang saldo yang semakin menipis.
Seandainya aku punya mental sekuat mereka..
Ia menghembuskan lagi napas dalam-dalam. Lagi-lagi merasa benci kepada dirinya sendiri.
🍁
Sejak kelas dua SMA, Anin sudah menyusun langkah untuk menata hidup selepas sekolah. Namun semua gagal. Dari mulai; mengikuti seleksi SNMPTN, mencoba kembali lewat SBMPTN, nekat kuliah salah jurusan yang hanya bertahan selama tiga bulan, hingga menjadi karyawan koperasi simpan pinjam dan berujung menjadi pengangguran.
Anin tidak bisa lagi menggunakan kerja otak yang sering dibanggakan, karna selain nilai akademis yang kurang dalam beberapa mata pelajaran, nasib lah yang bekerja untuk menentukan. Tempatnya sekolah adalah SMA swasta dengan akreditasi B, sama sekali bukan tandingan yang pantas untuk 15 : 2 bagi SMA unggulan yang lebih dulu mendapat peluang kesempatan 25% lebih besar.
Dari sepuluh pendaftar, hanya ada dua yang masuk seleksi, yaitu Adnan dan Alka. Mereka pandai kimia dan matematika. Nilai ijazah cukup bagus walau Anin sangat tahu bahwa mereka mendapatkannya dengan cara curang. Tapi siapa yang peduli dengan dua murid yang duduk manis memainkan ponsel di bawah meja untuk bertukar jawaban sesama kode dengan kenalan dari sekolah lain? Pengawas saja lengah, apalagi reaksi guru yang justru bangga akan kcerdasan abal-abal murid didiknya.
Terkadang, untuk mendapat pujian, kamu harus rela menanggalkan kejujuran.
Setelah menahan mulut agar tidak berteriak ketika piagam penghargaan diberikan saat acara wisuda kelulusan, Anin mulai mencari jalan lain. Mulai mendaftar di salah satu sekolah tinggi ilmu keguruan jurisan pendidikan ekonomi. Biaya pendaftaran dan gedung didapat dari menjual aksesoris di sekolahan. Tidak banyak memang, itu juga salah satu penentu jalan keluar yaitu berhenti dari kampus.